Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Startup Lokal Diminta Utamakan IPO di Bursa Dalam Negeri, Ini Lho Alasannya!

Memasuki era baru bursa lokal di mana aturan dan syarat IPO sudah lebih fleksibel dan makin ramah terhadap startup, membuat rencana go publik di luar negeri dengan alasan serupa menjadi semakin tidak relevan.
Pengunjung beraktivitas di depan papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (23/2/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pengunjung beraktivitas di depan papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (23/2/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku modal ventura berharap ventura berharap perusahaan rintisan (startup) asli Tanah Air mulai melirik lantai bursa, ketika dihadapkan dengan kebutuhan penggalangan dana tahap lanjut di pasar modal.

Sebagai informasi, hal ini seiring fenomena maraknya startup lokal yang membatalkan rencana melantai di bursa Amerika Serikat (AS) lewat mekanisme Special Purpose Acquisition Company (SPAC), misalnya, Tiket, Traveloka, dan Kredivo.

Di sisi lain, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah meresmikan aturan anyar penawaran perdana saham (IPO) yang lebih ramah terhadap startup. Terutama terkait multiple voting shares (MVS), serta perluasan syarat tercatat masuk papan utama dan papan pengembangan yang opsinya makin beragam dan bisa dipilih oleh calon emiten.

Aldi Adrian Hartanto, Vice President of Investments MDI Ventures menjelaskan bahwa dalam konteks kondisi market terkini, memprioritaskan IPO di dalam negeri terbilang relevan ketimbang terburu-buru melantai di luar negeri, apalagi via SPAC.

Terlebih, kisah IPO PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) beberapa waktu lalu membuktikan bahwa potensi penghimpunan dana jumbo dari investor di bursa lokal pun makin menjanjikan, tak kalah dibandingkan melantai di luar negeri.

"Startup lokal yang butuh menggalang dana IPO di bawah belasan triliun [rupiah], seharusnya di Indonesia saja cukup. Kalau ukuran startup tersebut sudah lebih besar dan butuh dana lebih besar pula, ekspektasinya ke dual listing. Tapi berhubung kondisi market di luar masih kurang kondusif, termasuk di AS, mengutamakan IPO di Indonesia terlebih dahulu memang ada benarnya," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (22/3/2022).

Aldi menjelaskan kondisi kurang kondusif di market AS tersebut, terutama akibat tren kondisi kinerja emiten jebolan SPAC secara umum yang tengah memburuk. Hal ini ditambah tekanan eksternal, seperti konflik geopolitik dan gejolak makroekonomi di negeri Paman Sam.

Adapun, Aldi mengungkap bahwa tren ambrolnya valuasi para emiten SPAC di AS juga didorong mencuatnya pendapat bahwa banyak di antara emiten tergolong overvalue. Sentimen ini akhirnya merambat ke seluruh emiten jebolan SPAC secara keseluruhan, dan besar kemungkinan juga berdampak ke startup-startup yang baru menjelang deal dengan SPAC.

Sebagai contoh, salah satu portofolio MDI Ventures, yakni induk Kredivo alias FinAccel Pte Ltd, dalam memutuskan pembatalan deal SPAC beberapa waktu lalu pun mempertimbangkan fenomena tersebut. Terkini, FinAccel memilih strategi mendulang putaran pendanaan privat baru terlebih dahulu, sebelum kembali menggodok rencana go public lagi ke depannya.

"Kredivo kami lihat semakin profitable, punya growth menjanjikan, potensi ekspansi juga sangat lebar. Tadinya, SPAC dipertimbangkan karena kecepatan, ya. Tapi karena kondisi sedang kurang ramah, sederhananya jangan sampai Kredivo kelihatan jelek hanya karena tren emiten SPAC lain. Kredivo kalau mau IPO di sini pun mungkin saja, karena bisnis utamanya memang di Indonesia. Tapi sampai saat ini belum ada rencana," jelasnya.

Adapun, Aldi menambahkan kondisi kurang kondusif lain apabila startup lokal terburu-buru memutuskan melantai di luar negeri, yaitu tengah munculnya sentimen negatif investor terhadap big-tech jumbo yang beroperasi di kawasan Asean.

Sebab, apabila menilik emiten-emiten senior dari kawasan Asean di bursa AS seperti Grab dan Sea Group yang saat ini masih menjadi benchmark, realisasi kinerja terhadap target yang dipatok terbilang belum mampu memenuhi ekspektasi investor. 

"Kondisi ini juga menjadi salah satu katalis startup atau unikorn di Indonesia, terutama yang tech-based, cenderung menahan go public di luar. Tapi menurut saya, walaupun mulai condong IPO di Indonesia, sepertinya belum ada yang berani murni dan total di dalam negeri seperti Bukalapak lagi. Dual listing jadi opsi yang paling relevan di kondisi saat ini," tambahnya.

Direktur Utama Mandiri Capital Eddi Danusaputro menambahkan bahwa dari kacamata para investor startup yang berasal Tanah Air, IPO di dalam negeri jelas direkomendasikan demi menjaga hubungan dengan basis market-nya, sekaligus ikut membantu meningkatkan kapitalisasi bursa saham Indonesia.

"Startup asal Indonesia dan beroperasinya di Indonesia, ya, harusnya IPO di Indonesia juga, dong. Terutama untuk memperbesar peluang investor ritel dalam negeri untuk ikut memiliki saham, menjaga rasa kepemilikan publik di sini. Adapun, dari sisi investor, jelas lebih suka kalau startup dalam portofolionya IPO di sini juga. Salah satunya, karena tidak perlu ada currency convertion terkait valuasi mereka," jelasnya kepada Bisnis.

Terakhir, Co-founder & Managing Partner Gayo Capital (Ideosource Green Initiative) sekaligus Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani menilai syarat yang fleksibel menjadi salah satu pertimbangan utama bagi startup lokal secara umum untuk go public.

Tak heran, beberapa tahun belakangan sebagian mulai tergoda untuk melaju lewat SPAC. Namun, saat ini startup lokal tampak mulai menghindari skema ini, salah satunya karena tren tingginya redemption rate dari para investor.

Sebagai gambaran, SPAC sebagai perusahaan cangkang atau kerap disebut 'sponsor' secara khusus dibuat untuk melakukan akuisisi atau merger dengan startup, atau dalam hal ini disebut perusahaan target.

Artinya, pada saat perusahaan sponsor melangsungkan IPO, investor hanya mengandalkan nama besar atau pihak kuat di belakang SPAC terkait. Investor pun belum memiliki pegangan pasti soal apa dan bagaimana kondisi perusahaan target yang diincar sponsor.

Oleh sebab itu, kebijakan redemption memungkinkan investor menebus kepemilikannya dengan harga penawaran awal. Hal ini terutama ditujukan untuk investor yang tak setuju atau tak yakin dengan prospek perusahaan target. Syaratnya, redemption diperbolehkan sebelum deal antara perusahaan sponsor dengan target diresmikan.

"Jadi, kalau startup mengharapkan SPAC sebagai ajang meraup pendanaan, akan sangat sulit kalau banyak investor yang mengajukan redemption. Karena dana segar yang dimiliki perusahaan sponsor akhirnya terus berkurang akibat mekanisme pasar," ungkapnya kepada Bisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper