Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menjamin tak akan ada pihak penagihan dari industri multifinance yang melakukan tindakan pemaksaan, kecuali oknum terkait merupakan debt collector non-resmi atau gadungan.
Ketua APPI Suwandi Wiratno menegaskan bahwa perusahaan saat ini semakin berhati-hati dalam melakukan pengawasan debt collector internal perusahaan maupun pihak ketiga di lapangan.
Terlebih, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperbarui aturan perlindungan konsumen lewat POJK Nomor 6/2022, di mana perusahaan bisa terdampak langsung, bertanggungjawab penuh terhadap tingkah laku para penagih yang dikirim mengunjungi debitur.
"Regulasi ini beriringan dan menjadi penegas aturan-aturan terkait industri pembiayaan lainnya, seperti POJK 35/2016 tentang perusahaan pembiayaan, juga soal eksekusi jaminan fidusia. Kami harus memastikan semua sesuai dengan prosedur, mengikuti aturan yang berlaku. Karena kalau kami yang salah, kami juga bisa diproses OJK," ujarnya kepada Bisnis, Senin (30/5/2022).
Suwandi menegaskan bahwa debitur wanprestasi yang beritikad baik pasti didorong untuk mengembalikan unit dan menyudahi perjanjian kredit secara baik-baik. Adapun, apabila debitur tidak berkenan mengembalikan unit, maka sesuai aturan, perusahaan selaku kreditur akan menempuh jalur hukum berdasarkan putusan pengadilan.
Namun, perlu diingat, tak ada untungnya bagi debitur yang jelas salah untuk menempuh jalur hukum. Karena berpotensi terkena hukuman membayar biaya perkara, kerugian immateril, dan lain-lain. Lebih baik berkomunikasi, mengupayakan pembicaraan untuk rescheduling atau restrukturisasi apabila memungkinkan, atau penjualan unit bersama lewat lelang umum atau penjualan bawah tangan apabila benar-benar tak mampu lagi membayar.
Baca Juga
"Industri pembiayaan menyambut baik segala aturan terkait perlindungan konsumen, karena secara tidak langsung membuat kami semakin berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaan. Kami sudah tergabung dengan SLIK OJK dan lembaga pencatatan aset Rapindo, jadi debitur yang tercatat punya riwayat nakal tidak akan punya kesempatan lagi untuk pembiayaannya diterima," tambahnya.
Sarjito, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK menambahkan bahwa debt collector yang melakukan hal-hal termasuk tindak pidana, bahkan bisa diproses secara hukum. OJK punya wewenang berkoordinasi dengan lembaga kepolisian dan semua lembaga terkait untuk menegakkan asas perlindungan konsumen.
"Kalau praktik merugikan sudah termasuk tindak pidana umum, maka kami imbau juga agar konsumen memproses ke pihak kepolisian," ujarnya dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu.
Ketika berada dalam proses penagihan, debitur bisa memastikan debt collector yang bertugas menemuinya membawa kartu identitas, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, sertifikat profesi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi bidang pembiayaan yang terdaftar di OJK, bukti dokumen debitur wanprestasi, dan salinan sertifikat jaminan fidusia.
Debitur yang memiliki keluhan berkaitan proses penagihan, bisa menempuh dua cara untuk mengajukan pengaduan. Pertama lewat perusahaan pembiayaan terkait melalui internal dispute resolution, dan apabila dirasa belum cukup bisa mengadu ke Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) dengan melampirkan kronologi dan bukti dokumen pendukung.
OJK menegaskan bahwa lembaga keuangan yang terbukti melanggar asas perlindungan konsumen bisa terkena sanksi administratif, seperti denda, pembatasan penjualan produk tertentu, pembekuan kegiatan usaha, sampai pencabutan izin usaha.