Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dianggap Kurang Pas, IFG Kaji Portofolio Bisnis Asuransi Kredit

Asuransi kredit dinilai sebagi produk yang tidak berkelanjutan bagi asuransi umum.
Karyawan beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Jakarta, Rabu (5/1/2021). Bisnis/Suselo Jati
Karyawan beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Jakarta, Rabu (5/1/2021). Bisnis/Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia Financial Group (IFG) tengah merestrukturisasi portofolio lini bisnis asuransi kreditnya. Holding BUMN asuransi dan penjaminan itu melihat bisnis asuransi kredit di asuransi umum kurang tepat dijalankan karena terbatasnya kemampuan dalam menakar risiko kredit.

"Kami melihat ini [asuransi kredit] sesuatu yang tidak berkelanjutan. Kami sekarang dalam proses merestrukturisasi sekitar Rp600 triliun portofolio asuransi kredit," ujar Direktur Bisnis IFG Pantro Pander Silitonga, dikutip Minggu (5/6/2022).

Adapun asuransi kredit adalah produk yang memberikan proteksi kepada bank umum terkait risiko gagal bayar debitur. Oleh karena itu, kata Pantro, tidak mungkin perusahaan asuransi dapat mengelola risiko kredit lebih baik dari perbankan karena perusahaan asuransi tidak memiliki akses untuk menganalisa risiko kredit.

"Bank memiliki akses ke Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), sedangkan asuransi tidak punya akses. Bank lakukan double check terhadap jaminan, punya hubungan baik dengan peminjam. Tidak ada itu semua di perusahaan asuransi sehingga sulit untuk menakar risiko kredit," katanya.

Menurut Pantro, perusahaan asuransi lebih cocok dalam mengelola bisnis asuransi jiwa kredit di mana perusahaan asuransi memiliki peran untuk menakar dan mengelola risiko kematian alami dari debitur, yang memang menjadi kompetensi dari perusahaan asuransi.

Sementara itu, Wakil Direktur Utama IFG Hexana Tri Sasongko mengungkapkan bahwa kajian mengenai asuransi kredit tersebut muncul ketika pihaknya menemukan fakta rasio klaim asuransi kredit cukup tinggi. Namun demikian, hingga saat ini IFG belum memiliki keputusan apakah nantinya lini bisnis asuransi kredit akan tetap menjadi portofolio bisnis anak-anak usaha IFG atau tidak.

"Kami belum sampai keputusan sejauh itu, apakah enggak usah masuk bisnis itu [asuransi kredit]. Perlu melihat ekosistem, tidak egois melihat kami saja. Misal, asuransi kredit libatkan industri perbankan, kami jaga eksosistem," ujar Hexana ketika ditanya Bisnis lebih lanjut.

Dari kajian yang dilakukan, IFG mengidentifikasi tingginya rasio klaim asuransi kredit disebabkan karena perusahaan asuransi meremehkan risiko kredit dan perusahaan asuransi tidak ahli dalam menakar risiko kredit. Dalam bisnis asuransi kredit, perusahaan asuransi mempercayakan sepenuhnya pengukuran risiko kredit kepada bank sehingga ada ketidakyakinan oleh perusahaan asuransi terhadap risiko yang ditanggungnya.

"Kami akan review kami akan ambil langkah seperti apa. Itu peluang ketika itu diambil apakah akan menghasilkan laba atau bikin bangkrut," kata Hexana.

Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), klaim asuransi kredit sepanjang 2021 tercatat mencapai Rp7,63 triliun atau turun 28,8 persen dibandingkan 2020 yang mencapai Rp10,72 triliun. Rasio klaim asuransi kredit tahun lalu pun turut membaik ke level 55,8 persen, turun dari posisi di 2020 yang mencapai 65,2 persen.

Sedangkan premi dicatat dari lini bisnis asuransi kredit sepanjang 2021 mengalami penurunan sebesar 16,7 persen, yakni menjadi Rp13,68 triliun dari sebelumnya mencapai Rp16,44 triliun pada 2020.

Sebelumnya, Wakil Ketua Bidang Statistik, Riset & Analisa AAUI Trinita Situmeang mengungkapkan bahwa AAUI bersama para penerbit polis asuransi kredit telah melakukan pertemuan dan diskusi untuk melakukan perbaikan tata kelola bisnis asuransi kredit.

"Para pemain asuransi kredit di 2021 sudah dikumpulkan, diskusi bagaimana kami support kondisi market, tetap support asuransi kredit dengan beberapa perbaikan dari sisi underwritting guideline, sistem pentarifan, sistem pencadangan, hingga ekspektasi klaim," tutur Trinita.

Dia berharap upaya tersebut dapat memperbaiki kinerja asuransi kredit di tahun ini dan mendongkrak perolehan premi dari lini bisnis tersebut.

"Seiring dengan NPL dan NPF terkendali, ditopang oleh mitigasi risiko dan risk management yang baik, harusnya kami juga bisa lebih baik. Tren penurunan [premi] mudah-mudahan akan berganti jadi rebound di 2022," kata Trinita.

Adapun, asuransi kredit merupakan kontributor terbesar ketiga perolehan premi industri asuransi umum, setelah lini bisnis asuransi properti dan kendaraan bermotor. Pangsa pasar asuransi kredit mencapai 17,5 persen dari total perolehan premi industri asuransi umum. Hal ini membuat tingginya rasio klaim asuransi kredit menjadi perhatian para pelaku industri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper