Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia memperkirakan inflasi indeks harga konsumen tahun ini akan mencapai 4,2 persen. Angka ini sedikit di atas sasaran bank sentral yang ditetapkan 2-4 persen pada tahun ini.
Meskipun meleset dari perkiraaan, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan inflasi inti dan ekspektasi inflasi masih bisa terkendali dalam kisaran 3 persen plus minus satu persen. Bahkan, menurut Perry, inflasi akan kembali dalam batas sasaran.
"Baik ekspektasi inflasi maupun inflasi inti," tegasnya dalam seminar nasional bertajuk 'Managing Inflation to Boost Economic Growth', Rabu (15/6/2022).
Ke depannya, BI akan terus memantau inflasi ini. Sejauh ini, jelas Perry, inflasi masih terkendali dan skenario tersebut terus dilakukan BI dengan tetap mewaspadai perkembangan inflasi ke depan.
Dia berharap tidak ada kejutan-kejutan di global maupun domestik sehingga secara keseluruhan pemulihan ekonomi secara domestik terus berlanjut, stabilitas makro ekonomi, dan keuangan terjaga, serta inflasi dan nilai tukar terjaga.
Dengan perkembangan tersebut, dia memastikan BI tetap akan dan sudah melakukan normalisasi.
Baca Juga
"Normalisasi yang kami lakukan melalui likuiditas, penyerapan likuiditas yaitu dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM)," ujarnya.
"Bahkan dalam rapat dewan gubernur (RDG) terakhir kami mempercepat normalisasi dari likuiditas tadi," tegas Perry.
BI sebelumnya telah mengumumkan untuk mempercepat kenaikan GWM. Awalnya, GWM ditingkatkan secara bertahap menjadi 6,5 persen pada September mendatang.
Namun, BI memutuskan untuk mempercepat tahapan tersebut menjadi 6 persen di Juni, 7 persen di Juli, dan 9 persen di September, tanpa mengganggu kemampuan perbankan, menyalurkan kredit dan pembiayaan Surat Berharga Negara (SBN).
Perry menjelaskan, dalam dua tahun terakhir likuiditas di perbankan sangat longgar lantaran BI menambah likuiditas quantitative easing dalam jumlah sangat besar.
Alat likuid/DPK saat ini mencapai 29 persen dan diprediksi akan turun menjadi 27 persen dengan adanya kenaikan GWM.
Namun, kata Perry, 27 persen tersebut masih jauh lebih tinggi dari alat likuid/DPK sebelum Covid-19 yang kala itu mencapai 21 persen.
"Ini yang kami lakukan, normalisasi kebijakan moneter melalui penyerapan likuiditas dengan kenaikan GWM," ujar dia.