Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengkaji kerangka regulasi mengenai hak kekayaan intelektual (HKI), seperti lagu hingga konten Youtube sebagai jaminan kredit di bank. Banyak tantangan yang harus diselesaikan terlebih dahulu untuk menjadikan HKI sebagai agunan pinjaman.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan OJK mendukung HKI sebagai salah satu jaminan ulang dengan tetap memprioritaskan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko di jasa keuangan.
“Kami juga siapkan kerangka regulasi HKI sebagai agunan yang sedang dikaji dan disusun oleh tim pengaturan sehingga akan membantu mempercepat implementasi HKI, yang menurut kami cukup dinanti-nantikan oleh pegiat industri kreatif,” kata Dian dalam webinar, Kamis (1/9/2022).
Dian juga mengatakan namun demikian terdapat tantangan dalam mengimplementasi HKI sebagai agunan yang perlu diselesaikan bersama terlebih dahulu. HKI memiliki fluktuasi nilai yang cukup tinggi. Nilai dari HKI tergantung oleh sentimen pasar, selera masyarakat, kinerja pemasaran, dan time value dari produk HKI itu tersebut.
Kemudian, dari sisi stabilitas sistem keuangan, HKI masih dinilai sebagai sektor dengan produktivitas rendah serta fluktuasi pada return maupun value sehingga dikategorikan sebagai penyumbang risiko pada stabilitas.
“Pembiayaan berbasis HKI menuntut bank menyediakan cadangannya yang lebih besar,” kata Dian.
Baca Juga
Hal lainnya, kata Dian, adalah porsi investasi aset tidak berwujud dan posisinya yang relatif kecil yang dibiayai oleh pinjaman bank berpotensi melemahkan transmisi kebijakan moneter karena dinilai kurang responsif terhadap perubahan suku bunga.
Dia juga menuturkan bentuk perikatan yang dipersyaratkan belum diatur secara jelas, saat ini jenis HKI yang diatur dengan persyaratan yang jelas hanya hak cipta dan paten, yaitu pengikatan secara fidusia sementara jenis HKI yang lain, seperti merek, rahasia dagang dan desain industri, belum diatur jasa hukum perikatannya.
“Dibutuhkan pedoman dan penilaian atas nilai ekonomis yang masih perlu dikaji dan diatur oleh berbagai pihak yang ahli dalam bidang HKI, mengingat saat ini belum ditetapkan rumus baku penilaian HKI yang dapat dijadikan dasar penilaian kredit,” kata Dian.
Dian menyampaikan aspek selanjutnya yang harus diperhatikan adalah kehadiran lembaga penilai atas nilai ekonomis yang melekat pada HKI. Hingga saat ini belum ada lembaga nilai yang khusus melakukan penilaian terhadap HKI untuk acuan Bank.
Kemudian penetapan tata cara untuk eksekusi HKI dan lembaga yang membantu eksekusi HKI yang dijadikan agunan. HKI juga tidak memiliki pasar secondary yang membuat bank kesulitan ke depannya.
“Kemudian secondary market belum tersedia, sehingga pada eksekusi tidak dapat dilakukan penjualan yang efektif, bank kesulitan dalam pengembalian atas kredit yang diberikan,” kata Dian.
Sementara itu Direktur Bisnis Consumer PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Corina Leyla Karnalies mengatakan perseroan masih mengkaji HKI sebagai agunan. Terdapat beberapa hal yang perlu diperjelas sebelum BNI menjadikan HKI sebagai jaminan utang.
“Tantangannya adalah cara menilai dan menghitung kekayaan intelektual sebagai objek pembiayaan. Ini mungkin secara mekanisme perlu disepakati. Perbankan saya rasa perlu adanya ketentuan pendukung untuk menjaga pembiayaan ini. Karena ini akan menjadi obyek pembiayaan buat bank,” kata Corina