Bisnis.com, JAKARTA - Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) menghantam mata uang banyak negara, termasuk Indonesia.
Nilai tukar rupiah pada hari ini (28/9/2022) ditutup pada level Rp15.266 per dolar AS, melemah sebesar 0,94 persen atau 142,5 poin.
Pelemahan nilai tukar rupiah juga terjadi seiring dengan pelemahan sebagian besar mata uang negara di kawasan Asia, misalnya won Korea yang melemah sebesar 1,27 persen, yuan China melemah 0,90 persen, dan ringgit Malaysia 0,34 persen terhadap dolar AS.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menyampaikan bahwa penguatan dolar AS yang terjadi saat ini dipengaruhi oleh pengetatan kebijakan moneter the Fed yang akan lebih agresif ke depan.
"Penguatan dolar AS terjadi terhadap mata uang global [across the board] tercermin pada dolar index. Dolar AS menguat lebih signifikan terhadap mata uang negara maju," katanya kepada Bisnis, Rabu (28/9/2022).
Dia menjelaskan, pelemahan mata uang negara maju terhadap dolar AS jauh lebih signifikan dibandingkan dengan mata uang di negara berkembang.
Baca Juga
"Kita lihat dalam beberapa waktu terakhir poundsterling Inggris dan yen Jepang serta mata uang negara maju lainnya melemah signifikan sehingga harus diintervensi oleh otoritas. Suatu hal yang jarang mereka lakukan sebelumnya," kata Dody.
Sementara itu, dia mengatakan penguatan dolar AS terhadap mata uang negara emerging markets masih terukur, termasuk rupiah.
"Hal ini karena prospek ekonomi yang positif dan tekanan inflasi di emerging market tidak sebesar negara maju," jelas Dody.
Pada kesempatan berbeda, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa pelemahan rupiah, dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama dipicu oleh agresivitas kebijakan moneter di negara maju.
Kebijakan kenaikan suku bunga yang agresif menyebabkan aliran modal keluar dari negara berkembang dan menekan mata uang negara-negara tersebut, termasuk Indonesia.
"Kemudian tingginya inflasi di negara berkembang memicu kekhawatiran terjadinya tekanan pada sektor keuangan," katanya.
Dia menambahkan, kondisi ini diperparah dengan adanya ancaman resesi ekonomi secara global, sehingga investor cenderung mengamankan aset ke instrumen yang lebih aman.
Bhima memperkirakan rupiah ke depan masih berpotensi melemah hingga ke level Rp15.500 per dolar AS.