Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) bersama dengan Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI tengah mengkaji mekanisme pengalihan portofolio dana tabarru dari unit syariah perusahaan yang tidak spin off dan di alihkan ke perusahaan lain.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Erwin Noekman mengatakan bahwa masih ada sebagian perusahaan yang memiiki unit syariah merasa portofolio dana tabarru adalah milik mereka dan bisa diperjual-belikan, padahal hal ini tidak boleh dilakukan.
“Dana tabaru secara prinsip kami mengikuti POJK 72 tentang kesehatan keuangan atau PSAK 108, itu bukan miliki dari perusahaan atau pemegang saham, tetapi itu adalah milik pemegang polis,” ujar Erwin dalam webinar, Jumat (18/11/2022).
Saat yang sama, dana tabarru tidak boleh berukurang dan perusahaan tidak boleh mengambil keuntungan dari dana tabarru untuk kepentingan perusahaan. Kemudian, pada saat melakukan pemisahan unit pun ketika ada surpluss maka kelebihan tersebut tidak boleh dibagikan.
Ketua Bidang IKNB Syariah Dewan Syariah Nasional (DSN) Agus Haryadi mengatakan, terdapat sejumlah opsi yang bisa dilakukan perusahaan ketika ingin mengalihkan portofolio dana tabarru yang dibagi menjadi dua yakni sudah terdapat qardh dalam dana tabarru dan dana tabarru memiliki akumulasi dana lebih.
Untuk yang sudah ada qard dalam dana tabarru, Agus mencotohkan, misalkan unit asuransi A memiliki aset dana tabrru Rp80 miliar ditambah qardh Rp20 miliar, dan liabilitas dana tabarru Rp100 miliar, terdapat 4 pilihan yang bisa dilakukan.
Baca Juga
Pertama yakni aset dana tabarru Rp100 miliar di transfer ke perusahaan B, sehingga qardh sebesar Rp20 miliar menjadi hibah dari perusahaan A. Pilihan kedua yakni aset dana tabarru Rp80 miliar ditransfer ke perusahaan B, sehingga beban qardh ada di perusahaan B.
Pilihan ketiga yakni negosiasi aset dana tabarru yang ditransfer ke perusahaan B, jumlah yang ditransfer sebesar Rp90 miliar, dan perusahaan B yang menanggung qardh sebesar Rp10 miliar. Sementara pilihan keempat tidak ada perusahaan asuransi yang mau menerima.
Sementara dana tabarru yang memiliki akumulasi dana lebih, Agus mencotohkan, misalkan unit syariah asuransi A memiliki aset dana Tabarru Rp100 miliar, liabilitas dana tabarru Rp80 miliar dan akumulasi dana tabarru Rp20 miliar.
Pilihan pertama apabila perusahaan A memiliki aset dana tabarru sebesar Rp100 miliar maka bisa ditransfer secara penuh ke perusahaan B. Sementara pilihan kedua aset dana tabarru Rp80 miliar ditransfer ke perusahaan B dan yang Rp 20 miliar diberikan ke lembaga sosial.
Pilihan ketiga, negosiasi aset dana tabarru yang di transfer ke perusahaan B dan perusahaan A meminta imbalan untuk pengelolaan. Sementara pilihan keempat tidak ada perusahaan yang mau menerima.
Sebagai informasi, dana tabarru adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para peserta asuransi, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah, yakni undang-undang nomor 40 tahun 2014 tentang perasuransian.
Sementara dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI), perusahaan asuransi syariah wajib menanggulangi defisit underwriting atas dana tabarru melalui dana qardh. Dana qardh berupa pinjaman yang akan dikembalikan sesuai pokoknya. Jika dilihat dari sisi pemegang klaim (nasabah) dengan dana cadangan qardh 30 persen tersebut lebih aman.