Bisnis.com, JAKARTA — Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkap adanya ancaman baru bagi perekonomian dunia pada tahun depan, yaitu resflasi.
Apa sebenarnya reflasi?
Perry Warjiyo mengungkapkan reflasi merupakan kondisi dimana adanya risiko resesi disertai dengan tingkat inflasi yang tinggi.
“Ada risiko stagflasi, pertumbuhan stagnan, menurun, bahkan inflasi tinggi. Sekarang istilahnya resflasi, risiko resesi dan tinggi inflasi,” katanya dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (22/11/2022).
Perry menyampaikan, kondisi perekonomian dunia pada tahun depan diperkirakan masih akan bergejolak, dengan tingginya inflasi yang memicu pengetatan kebijakan moneter secara global.
Pengetatan kebijakan moneter, terutama dengan kenaikan suku bunga acuan di negara maju diperkirakan terus berlanjut pada tahun depan, bahkan akan berlangsung lebih lama.
Suku bunga di Amerika Serikat (AS) misalnya, diperkirakan akan meningkat dan mencapai puncaknya hingga 5 persen pada semester I/2023.
“Puncaknya mungkin di kuartal I atau kuartal II, dan tidak akan segera turun, inilah yang disebut interest rate higher for longer, di Eropa juga seperti itu, di Inggris juga,” jelasnya.
Menurut Perry, kenaikan suku bunga yang agresif secara global pun belum tentu langsung berdampak pada penurunan inflasi yang lebih disebabkan oleh sisi supply saat ini. Kondisi ini semakin menambah ketidakpastian bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.
Perry mengatakan bauran kebijakan BI pada 2023 akan tetap diarahkan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan moneter akan tetap diarahkan untuk pro-stabilitas, sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi dan keuangan yang inklusif akan diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kebijakan moneter kami arahkan untuk menurunkan inflasi inti segera ke sasaran lebih awal, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan respons suku bunga, intervensi valas, maupun twist operation. Kebijakan makroprudensial akan tetap longgar,” kata Perry.
BI pun menetapkan 5 arah kebijakan untuk mengantisipasi berlanjutnya gejolak global pada tahun depan. Pertama, memperkuat framework dan respons bauran kebijakan, sehingga simulasi dan respons kebijakan BI dapat terkalibrasi dengan baik.
Kedua, peningkatan kapabilitas BI sebagai bank sentral digital, khususnya rencana untuk penerbitan digital rupiah, juga kelanjutan digitalisasi sistem pembayaran dalam, maupun yang berkaitan dengan kerja sama internasional.
Ketiga, BI akan melakukan implementasi digitalisasi business process re-engineering, serta keempat penguatan tata kelola yang disertai dengan manajemen risiko.
“Kami juga lakukan persiapan kalau RUU PPSK sudah disepakati. Kami sudah siap untuk melakukan antisipasi terhadap proses bisnis di BI maupun kepemimpinan BI,” kata Perry.
Kelima, BI akan mulai melakukan persiapan perpindahan ke Ibu Kota Negara Nusantara, termasuk persiapan dari aspek hukum, organisasi, proses kerja, SDM, hingga penyediaan sarana dan prasarana.
“BI termasuk yang pindah pertama, karena itu kami sudah pada tahap terakhir penyesuaian konseptual desain, kami juga akan koordinasi dengan pemerintah selaras dengan tahapan pemindahan sesuai roadmap,” kata Perry.