Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperpanjang restrukturisasi kredit hingga 2024 secara terbatas. Kebijakan ini dinilai mampu menurunkan rasio kredit macet (nonperforming loan/NPL) perbankan di tengah ancaman resesi global tahun depan.
Sebagaimana diketahui, OJK awalnya menetapkan relaksasi kredit restrukturisasi berakhir pada 31 Maret 2023. Akan tetapi pada Senin (28/11/2022) OJK resmi memperpanjang kebijakan tersebut secara bersyarat selama 1 tahun sampai 31 Maret 2024.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan bahwa kebijakan perpanjangan restrukturisasi itu bermanfaat banyak bagi perbankan dalam menjaga kualitas kreditnya.
“Ketika restrukturisasi diperpanjang, otomatis NPL akan turun. Akan tetapi, perpanjangannya ini bukan untuk semua jenis kredit, hanya beberapa sektor dan wilayah tertentu. Jadi penurunan NPL juga hanya untuk sektor tertentu saja.” ungkapnya kepada Bisnis pada Kamis (8/12/2022).
OJK memang memberikan perpanjangan restrukturisasi kredit hanya kepada 3 segmen, yakni segmen UMKM yang mencakup seluruh sektor, segmen penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar, yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki.
Untuk segmen UMKM, penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan di sektor ini terus bertumbuh. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BBRI misalnya mencatatkan peningkatan 9,83 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) untuk kredit UMKM per kuartal III/2022 hingga mencapai Rp935,86 triliun. Porsi kredit UMKM di BRI pun semakin gemuk menjadi 84,2 persen dari keseluruhan kredit.
Baca Juga
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), juga mencatatkan pertumbuhan kredit UKM sebesar 14,1 persen yoy menjadi Rp66,4 triliun per September 2022. Sementara kredit mikro Bank Mandiri tumbuh 13,8 persen yoy menjadi Rp146,6 triliun per kuartal III/2022.
Di sisi lain, untuk sektor umum, kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit Covid-19 tetap berlaku hingga Maret 2023. Sehingga, lembaga jasa keuangan (LJK) dan pelaku usaha dapat menggunakan kebijakan dimaksud sampai dengan Maret 2023 dan akan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kredit antara LJK dengan debitur.
“Alhasil, mereka yang bergerak di sektor selain yang diperpanjang restrukturisasinya harus bersiap-siap kenaikan NPL tahun depan,” ungkap Amin.
Ia mengatakan, NPL menjadi salah satu indikator kesehatan perbankan yang harus di jaga pada tahun depan di tengah ancaman resesi global. “Ancaman resesi memang tidak akan langsung berdampak pada naiknya NPL. Tapi Indonesia tetap akan kena imbas belakangan. Periode 6-7 bulan pada tahun depan akan berimbas ke NPL kita,” ungkap Amin.
Terpisah, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan kebijakan perpanjangan restrukturisasi kredit hingga 2024 secara terbatas cukup mampu menopang perbankan dari ancaman resesi tahun depan. "Perkiraan kami bahwa momentumnya akan tepat melalui restrukturisasi kredit ini," ujar Mahendra.
Ia mengatakan, kondisi NPL perbankan pun terus terjaga dengan baik. OJK mencatat, NPL nett per Oktober 2022 turun jadi 0,78 persen sementara NPL gross jadi 2,72 persen.
Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto juga mengatakan bahwa perpanjangan restrukturisasi kredit itu mampu menjaga performa kualitas kredit industri perbankan. “Restrukturisasi mampu memberikan dampak positif terhadap keberlanjutan usaha nasabah BRI yang mayoritas UMKM,” ujarnya.
Corporate Secretary Bank Mandiri Rudi As Aturridha juga mengatakan bahwa kebijakan perpanjangan restrukturisasi diharapkan akan membantu perbankan terutama debitur dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.
"Kami optimis dapat terus menurunkan posisi kredit restrukturisasi Covid-19 dimana nantinya yang benar-benar menjadi NPL akan sangat sedikit, serta sebagian lainnya dapat diberikan perpanjangan restrukturisasi secara selektif, sehingga diharapkan tidak akan terjadi cliff effect,” ungkap Rudi.