Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut bahwa likuiditas akan menjadi tantangan perbankan pada tahun depan di tengah tren suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang tinggi. Hal ini utamanya akan menyengat bank kecil yang sedari tahun ini pun sudah bergulat dengan tingginya rasio simpanan terhadap kredit atau loan to deposit ratio (LDR).
Adapun dua bank kecil, yakni PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) dan PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR) berancang-ancang mencari cara agar likuiditas tetap terjaga dengan baik.
Direktur Utama Bank Ina Daniel Budirahayu mengatakan bahwa tantangan likuiditas perbankan ke depan akan semakin ketat, paling tidak sampai semester pertama 2023. "Apabila inflasi sudah melandai di semester kedua tahun depan maka likuiditas akan semakin baik," katanya kepada Bisnis pada Senin (26/12/2022).
Dalam upaya menjaga likuiditas tersebut, Bank Ina akan meningkatkan produk tabungan yang menarik dan kemudahan dalam menjalankan produk digital. Dengan begitu, nasabah akan mudah bertransaksi, dana pihak ketiga (DPK) pun semakin banyak.
Bank besutan Anthony Salim ini memang mencatatkan peningkatan indikator likuiditas yakni loan to deposit ratio (LDR) per September 2022, meskipun likuiditasnya tergolong longgar. Per September 2022, LDR Bank Ina mencapai 49,29 persen meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu 30,29 persen.
Sementara itu Direktur Kepatuhan Bank Oke Efdinal Alamsyah mengatakan likuiditas perbankan tahun depan akan menjadi tantangan, terutama karena tren suku bunga acuan BI yang tinggi.
Baca Juga
Akan tetapi, tren suku bunga ini akan lebih berdampak pada nasabah institusi. Sementara, untuk nasabah ritel, tidak terlalu memberi dampak kepada likuiditas. Pasalnya, nasabah ritel lebih memerhatikan faktor layanan seperti kecepatan transaksi dan kenyamanan.
"Faktor produk juga menjadi hal yang harus diperhatikan," ungkapnya.
Bank Oke sendiri mencatatkan kinerja likuiditas yang ketat. Per September 2022, LDR Bank Oke mencapai 127,65 persen. Meskipun, LDR Bank Oke itu lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 128,85 persen.
Sebelumnya, berdasarkan Laporan Likuiditas Bulanan, LPS menyebut bahwa likuiditas akan menjadi tantangan perbankan tahun depan. Sebab, pertumbuhan kredit diperkirakan masih meningkat secara bertahap sejalan pemulihan aktivitas bisnis masyarakat, sementara DPK masih akan tumbuh dengan laju lebih lambat.
"Berlanjutnya peningkatan permintaan kredit akan menjadi tantangan bagi bank dalam mengelola likuiditasnya sekaligus tetap menjaga pertumbuhan kredit yang sehat," tulis LPS dikutip pada Senin (26/12/2022).
Kondisi itu memang membuat likuiditas bank akan mengetat. Sebab pertumbuhan kredit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK.
Apalagi, ancaman likuiditas itu terjadi di tengah tren suku bunga acuan BI yang tinggi. Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 21 – 22 Desember 2022 telah menaikan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,50 persen. Besaran peningkatan itu juga terjadi pada suku bunga deposit facility yang menjadi 4,75 persen dan suku bunga lending facility 6,25 persen.
Kenaikan suku bunga acuan itu menjadi yang kelima kalinya ditetapkan Bank Indonesia sejak Agustus 2022 secara beruntun hingga bulan ini.
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengatakan bahwa kenaikan suku bunga acuan akan membuat likuiditas bank semakin ketat. "Kondisi ini terutama akan dirasakan oleh bank-bank kecil yang selama ini sudah mengalami likuiditas ketat," ujar Piter kepada Bisnis, Senin (26/12/2022).
Piter menambahkan dalam kondisi likuiditas yang ketat, bank akan menaikkan suku bunga simpanan untuk menarik DPK.