Bisnis.com, JAKARTA – Kabar bertubi di industri asuransi jiwa tentang sebagian kecil perusahaan mengalami gagal bayar membawa awan mendung bagi pelaku usaha. Setelah gagal bayar sejumlah asuransi jiwa berumur relatif panjang, regulator melakukan perubahan sejumlah regulasi. Termasuk mengatur ulang produk asuransi yang berbalut investasi alias unit–linked. Tak hanya menerbitkan aturan baru, OJK juga meminta dilakukan pendaftaran ulang produk eksisting dengan memenuhi aturan baru.
Maka, kontrasi bisnis menjadi lumrah. Data oJK per Januari 2023 menunjukkan bisnis asuransi jiwa susut sekitar lima persen. Sedangkan asuransi umum dan reasuransi masih tumbuh. Akan tetapi, dampak konstrasi dan kabar gagal bayar berdampak langsung kepada ujung tombak industri yakni agen. Tenaga tersertifikasi oleh perusahaan asuransi namun pendapatannya berdasarkan fee.
Agen asuransi sendiri pun tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Di dalam beleid yang baru disahkan itu dijelaskan bahwa agen asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi.
“Atau perusahaan asuransi syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah,” demikian penjelasan dari UU PPSK, dikutip pada Selasa (28/2/2023).
UU PPSK juga menegaskan pengenaan sanksi terhadap agen asuransi, apabila dengan sengaja agen asuransi memberikan informasi yang menyesatkan (mis-selling) kepada calon pemegang polis. Tak main-main, pemberian sanksi kepada agen asuransi yang tak taat peraturan bakal mendapatkan ganjaran berupa pidana denda senilai Rp5 miliar dan pidana penjara paling lama lima tahun.
Baca Juga
Sebagaimana dimuat dalam Pasal 75, disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan kepada calon pemegang polis, calon tertanggung, calon peserta, pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban, dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan kepada calon pemegang polis, calon tertanggung, calon peserta, pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (7), Pasal 28 ayat (6), dan Pasal 31 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp5 miliar.
Adapun, Pasal 27 ayat (7) yang dimaksud adalah pialang asuransi, pialang reasuransi, dan agen asuransi wajib memberikan informasi yang benar, tidak palsu, dan/atau tidak menyesatkan kepada calon pemegang polis, calon tertanggung, calon peserta, pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban, dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan.
Sementara itu, belum lama ini, perusahaan asuransi jiwa PT Asuransi Jiwa Astra atau Astra Life menemukan adanya dugaan fraud atau tindakan penipuan yang dilakukan oleh oknum agen. Atas dasar itu, Astra Life melalui kuasa hukumnya telah mengambil jalur hukum untuk mengusut tuntas terkait dugaan penipuan yang menimpa nama perusahaan.
Pengamat asuransi Dedi Kristianto menilai bahwa agen asuransi bukan hanya sebagai perpanjangan tangan perusahaan asuransi dalam melakukan penjualan produk, melainkan juga bertindak untuk melakukan literasi keuangan secara tidak langsung kepada masyarakat.
“Agen asuransi juga sekaligus field underwriter, karena mengetahui kondisi nasabah secara langsung [know your customer] dan fungsi ini sangat penting sekali,” kata Dedi kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Dedi mengungkapkan bahwa seorang agen asuransi yang profesional harus dan mampu menjalankan sejumlah fungsi keagenan secara tepat. Di sisi lain, munculnya kasus gagal bayar dinilai merupakan cerminan dari tidak sedikitnya perusahaan asuransi yang tidak memberikan pelatihan dan edukasi tentang produk dan etika bisnis kepada agen dengan tepat.
“Sehingga di lapangan salah dalam menjelaskan serta melakukan tindakan-tindakan yang seharusnya tidak dilakukan,” sambungnya.
Oleh sebab itu, lanjut Dedi, kompetensi agen asuransi bisa diukur dari beberapa aspek di antaranya dari kemampuan para agen dalam memasarkan dan produk asuransi secara profesional hingga mengkalkulasikan dan mengidentifikasikan kebutuhan calon nasabah. Di samping itu, agen asuransi juga harus memiliki sertifikasi keagenan.
Dedi menilai bahwa masyarakat bisa kembali percaya kepada asuransi di tengah gempuran kasus gagal bayar. Pertama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator harus mengambil tindakan tegas pada perusahaan asuransi yang bermasalah serta menitikberatkan pada nasabah yang menjadi korban.
Kedua, OJK menjalankan fungsi kontrol dan monitoring secara ketat dan melekat pada setiap perusahaan asuransi agar kasus gagal bayar tidak terjadi lagi. Ketiga, perusahaan asuransi harus menjalankan dan menerapkan good corporate governance (GCG) serta mitigasi risiko yang ketat untuk menjalankan fungsi kontrol perusahaan.
Keempat, menjalankan fungsi pelatihan terhadap agen pemasar secara benar untuk menghindari mis-selling serta misconduct di lapangan.
“Perusahaan asuransi juga harus merespons dengan segera setiap keluhan nasabah untuk menjalankan mitigasi risiko internal sebelum menjadi bom waktu,” tambahnya.
Adapun yang keenam adalah adanya andil dari asosiasi. Dedi menuturkan bahwa asosiasi asuransi harus menjalankan fungsi kontrol juga dengan selalu mengingatkan dan memberikan nasehat atas hal-hal yang akan menjadi masalah, sehingga asas kehati-hatian dalam menjalankan operasional asuransi dapat terjaga.
Nada yang sama juga diungkapkan praktisi asuransi dan Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Barkah Taim yang mengatakan bahwa agen asuransi terutama pada perusahaan asuransi jiwa sangat penting, karena agen asuransi merupakan bagian dan mewakili perusahaan asuransi.
Artinya, lanjut Abitani, perusahaan asuransi berkewajiban mengawasi perilaku agen di dalam melakukan tugasnya. Kompetensi menjadi salah satu unsur terpenting dalam menjalankan tugas sebagai agen asuransi.
“Kompetensi sebagai penjual polis asuransi selain harus memahami produk yang dijual, tetapi juga wajib menaati prinsip-prinsip asuransi, terutama prinsip Utmost Good Faith,” ungkapnya.
Sementara itu, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan asuransi, Abitani memandang bahwa itu merupakan usaha bersama dari para pelaku, baik agen asuransi, perusahaan asuransi, asosiasi perusahaan asuransi, OJK, hingga pemerintah.
Kasus perusahaan asuransi terkait agen sering terjadi di lapangan. Akan tetapi yang terbaru adalah kasus di Asurans Astra Life. Agen yang menerima dana nasabah tidak menerbitkan polis sebagaimana mestinya.
Presiden Direktur Astra Life Windawati Tjahjadi menyampaikan bahwa perusahaan telah melaporkan kasus ini ke Kepolisian Negara Republik Indonesia pada 18 Januari 2023 melalui kuasa hukum Prof. Dr. Otto Hasibuan.
“Saat ini proses hukum masih terus berjalan di Mabes Polri,” kata Windawati kepada Bisnis, Kamis (23/2/2023).