Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan pertumbuhan kredit perbankan masih sesuai target meskipun diterpa kekhawatiran pengetatan karena efek rembetan dari kasus bangkrutnya bank-bank di Amerika Serikat (AS) seperti Silicon Valley Bank (SVB).
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan pertumbuhan kredit perbankan yang terjadi pada Februari 2023, dan angka-angka awal pada Maret masih meyakinkan. Per Februari 2023, kredit perbankan tumbuh 10,64 persen secara tahunan (year–on–year/yoy) menjadi Rp6.375 triliun.
"Pertumbuhan kredit berada di kisaran dobel digit. Hal itu menunjukkan penyaluran kredit efektif sesuai dari yang kita targetkan," katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK pada Senin (3/4/2023).
Di sisi lain, pertumbuhan penyaluran kredit yang masih sesuai target itu juga seiring dengan likuiditas perbankan yang masih longgar. Per Februari 2023, loan to deposit ratio (LDR) perbankan mencapai 79,8 persen.
"Hal ini menunjukkan bahwa peluang perbankan dalam meningkatkan pinjamannya bisa terus dilakukan meskipun di tengah kekhawatiran kasus-kasus bangkrutnya bank di luar negeri," kata Mahendra.
Ditambah lagi, perbankan Indonesia menurutnya mempunyai permodalan yang memadai. Tercatat, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) di level 26,1 persen per Februari 2023.
Baca Juga
"Jadi, walaupun kita melakukan pengawasan untuk mencermati kondisi ekonomi global, tapi jika melihat kondisi yang ada di perbankan, upaya dalam mencapai target-target yang ditetapkan keseluruhan 2023 akan dapat dijalankan dengan konsisten," ujar Mahendra.
Sebagaimana diketahui, industri perbankan di AS dan Eropa saat ini sedang dilanda guncangan. SVB di AS dilaporkan mengalami kebangkrutan tercepat yakni 48 jam usai gagal mengumpulkan dana tambahan sebesar US$2,25 miliar.
Sebelum bangkrutnya SVB, Silvergate Capital Corp., juga telah mengatakan akan melikuidasi banknya yang menyimpan dana kripto sebagai imbas dari kehancuran industri kripto. Kepanikan di industri keuangan AS tidak berhenti di situ, regulator bank AS kemudian mengumumkan kasus serupa terjadi di Signature Bank.
Tidak hanya di AS, sentimen negatif merembet ke pasar Eropa setelah Credit Suisse mengalami gejolak. Saham Credit Suisse Group AG ditutup melemah dan sempat anjlok ke level terendah sepanjang masa.
Bank Sentral Swiss kemudian memberikan bantuan likuiditas kepada Credit Suisse Group AG setelah sahamnya anjlok. Credit Suisse Gorup AG sendiri telah menarik pinjaman senilai US$54 miliar atau Rp833 triliun dari Bank Sentral Swiss.
Kemudian, saham Deutsche Bank (DB) merosot setelah kontrak yang dirancang untuk memastikan setiap default utang melonjak. Hal ini pun membawa kekhawatiran di pasar Eropa karena Deutsche Bank merupakan pemberi pinjaman terbesar kedua di kawasan.