Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah perlu memastikan jangkauan penyaluran kredit usaha rakyat atau KUR semakin luas hingga menjangkau masyarakat yang belum pernah memperoleh kredit sebelumnya. Hal itu menjadi aspek penting dalam rencana pemberian bunga 0 persen dalam program KUR.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai bahwa rencana pengenaan bunga 0 persen dalam KUR merupakan langkah baik. Menurutnya, pelaku UMKM memang harus mendapatkan keringanan terbaik agar mampu tumbuh dan berkembang.
Ketika program itu berjalan, pemerintah harus mampu memastikan perbankan dan sektor keuangan mampu menyalurkan kredit lebih luas lagi, yakni dengan menjangkau para pelaku usaha kecil dan mikro yang belum pernah memperoleh layanan jasa keuangan formal sebelumnya.
"Jangan penyaluran itu kembali kepada kelompok atau usaha tertentu yang sudah mereka kenal, yang track record-nya bagus, risikonya bisa ditekan. Kalau begitu tidak menjangkau usaha kecil lebih luas lagi," ujar Faisal kepada Bisnis, pekan lalu.
Core Indonesia mencatat bahwa 80 persen usaha kecil dan mikro masih belum memperoleh akses terhadap perbankan (unbankable). Artinya, sebagian besar KUR masih menyentuh usaha menengah, serta hanya 20 persen usaha kecil dan mikro yang memperoleh kucuran kredit tersebut.
Penyaluran KUR untuk usaha kecil dan mikro memang menghadapi tantangan besar. Perbankan masih memiliki jangkauan yang terbatas di daerah dan pedesaan, padahal usaha kecil dan mikro di daerah yang justru kesulitan mengakses permodalan.
Baca Juga
"Makanya outreach sampai ke daerah, desa harus terus ditingkatkan, karena banyak UMKM yang kesulitan dari sisi permodalan itu di daerah. Akses perbankan di sana lebih terbatas daripada di perkotaan," ujarnya.
Meskipun begitu, bunga 0 persen tidak serta merta menjadi jamu yang 'menyehatkan' berbagai problematika UMKM. Permodalan merupakan salah satu masalah awal, hingga kemudian UMKM menghadapi persoalan teknis dan manajerial seperti pengembangan produk, pengemasan, pemasaran, manajemen keuangan, hingga akses pasar.
Setelah pandemi Covid-19, Faisal menilai bahwa akses pasar kerap menjadi masalah nomor satu dalam pengembangan UMKM, bahkan melebihi isu permodalan.
Memang terdapat peluang yang besar dari digitalisasi, tetapi usaha kecil dan mikro membutuhkan pendampingan untuk bisa mengoptimalkan digitalisasi.
"Masalah UMKM bukan hanya soal permodalan, banyak juga yang terkait dengan masalah teknis dan manajemen, sehingga peran stakeholders, pemerintah terutama, mesti melihatnya secara lebih komprehensif, melihat dari hulu sampai hilir apa saja hambatannya," ujar Faisal.
*Wawancara dengan Faisal merupakan bagian dari laporan khusus Kisah Klasik UMKM yang terbit di harian Bisnis Indonesia edisi Senin (10/4/2023). Baca laporan selengkapnya di epaper.bisnis.com.