Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Khorinnisa El Karimah

ANALIS KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI BANTEN

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Keran Alternatif untuk Pembiayaan Hijau

Dunia dihadapkan pada ancaman perubahan iklim yang semakin mengemuka sejak pertama kali menjadi isu di tahun 1988.
Keran Alternatif untuk Pembiayaan Hijau
Keran Alternatif untuk Pembiayaan Hijau

Bisnis.com, JAKARTA-;Ke mana Anda akan pergi di momen libur panjang? Sebagian besar orang akan menjawab pergi berwisata ke pantai atau Gunung. Jenuh yang dirasakan dari hiruk pikuk ibukota tentu menjadi motivasi.

Tapi apakah pernah terpikir oleh Anda, 5 tahun, 3 tahun, atau bahkan tahun depan, Anda masih bisa merasakan eksotisme Pantai Pink, menghela udara segar di Gunung Kerinci? Barangkali hanya tinggal wacana dalam angan.

Dunia dihadapkan pada ancaman perubahan iklim yang semakin mengemuka sejak pertama kali menjadi isu di tahun 1988. Paris Agreement dan Glasgow Climate Pact merupakan buah kecemasan manusia terhadap berbagai dampak yang akan muncul dari perubahan iklim.

Tidak saja pada lingkungan, perubahan iklim akan secara gradual berdampak pada pelemahan ekonomi, terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia. Paparan risiko perubahan iklim timbul dari perkembangan industri yang melesat tanpa disertai mitigasi atas dampak lingkungan. Semakin pedih dengan abainya perilaku masyarakat.

Namun, kampanye peduli lingkungan mulai marak digaungkan oleh komunitas milenial. Diawali dengan mengurangi sampah plastik, gerakan membersihkan lingkungan, hingga startup yang mendaur ulang limbah plastik dan popok sekali pakai di rumah tangga.

Ekonomi sirkuler pun telah diimplementasikan oleh UMKM yang memiliki mindset ekonomi berkelanjutan. Mereka yang mendaur ulang limbah untuk diolah kembali menjadi bahan baku produksi. Sehingga kegiatan ekonomi yang dilakukan minim limbah produksi (zero waste).

Sayangnya, aktivitas ekonomi ramah lingkungan membutuhkan investasi yang tidak receh. Pemerintah bahkan mengestimasikan investasi modal yang dibutuhkan secara tahunan untuk mengimplementasikan ekonomi sirkuler mencapai Rp308 triliun.

Sementara menurut data BKPM, investasi eksisting sepanjang tahun 2022 saja sebesar Rp316 triliun. Artinya dibutuhkan tambahan hampir 100%.

Salah satu startup di Indonesia yang bergerak di ekonomi sirkuler, yaitu Octopus, diberitakan memperoleh pendanaan dari Openspace Ventures dan SOSV sebesar USD5 juta. Opsi sumber pendanaan dari modal ventura ini memang menjadi opsi bagi startup yang dinilai masih berisiko tinggi bagi perbankan untuk dapat memberikan kredit.

Mari sejenak menilik model bisnis Octopus. Octopus merupakan platform ekonomi sirkular yang dibuat untuk membantu mengatasi masalah sampah, yang memungkinkan pengguna/konsumen di level rumah tangga mengirimkan kemasan bekas pakai untuk didaur ulang menjadi produk yang bernilai jual. Octopus hadir untuk menjawab permasalahan ketidakseimbangan antara supply dan demand daur ulang.

Didirikan di tahun 2019, Octopus telah menjangkau lebih dari 200 ribu pengguna yang tersebar di lima kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Bali, dan Makassar.

Octopus juga telah bekerja sama dengan lebih dari 1.700 bank sampah dan 14.600 pemulung terlatih dan terverifikasi yang mereka sebut dengan “Pelestari”. Fokus bisnis Octopus adalah memangkas lapisan berlapis yang menyulitkan industri mendapatkan barang secara langsung, dengan memberikan kesempatan bagi para pengepul untuk bisa menjual semua barang daur ulang yang telah mereka dapatkan dari para Pelestari langsung kepada industri. Octopus juga bisa memberikan rekomendasi kepada para pengepul menyesuaikan skala usaha mereka.

Untuk pengepul yang masih dalam skala kecil disarankan bisa fokus kepada barang seperti plastik. Sementara mereka yang sudah dalam kategori menengah bisa fokus kepada barang kardus. Dan untuk usaha pengepul yang masuk dalam kategori besar bisa fokus kepada barang tertentu seperti sampah daur ulang elektronik.

Pada semester I 2022, Octopus mengklaim penggunanya meningkat dari 400% di kedua ujung rantai pasokan. Octopus mencatat 150.000 pengguna bulanan dan lebih dari 60.000 Pelestari, atau pengumpul sampah mandiri. Lebih dari 12.000 Pelestari telah mampu membuka rekening bank sejak bergabung dengan Octopus.

Di sisi lain rantai pasokan, Octopus melayani lebih dari 20 perusahaan, termasuk perusahaan fast-moving consumer goods (FMCG) global yang menggunakan Octopus untuk membantu memenuhi kepatuhan Environmental Social Governance (ESG) mereka. Octopus menargetkan jumlah Pelestari sebanyak 100.000 pada tahun 2024.

Potensi yang ditunjukkan Octopus, khususnya dalam upaya mewujudkan green economy, nyatanya belum mampu menarik bank untuk mendanai bisnis startup ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa startup sulit mendapatkan kepercayaan dari bank karena manajemennya masih belum efektif dan juga stabil.

Bank juga tidak mau mengambil risiko jika perusahaan tersebut tidak memiliki kemampuan membayar utang atau cicilan dikarenakan mengalami kebangkrutan akibat manajemen yang belum stabil tersebut. Jikalaupun didanai, bank akan harus menyisihkan labanya lebih besar lagi untuk membentuk Cadangan Kerugian

Penurunan Nilai (CKPN), termasuk menambah modal untuk memenuhi Capital Adequacy Ratio (CAR) yang tergerus. Sehingga perusahaan besar lah yang dapat menjadi entry point bagi perbankan untuk menjalankan fungsi intermediasinya dalam mendorong implementasi ekonomi sirkuler.

Kebijakan makroprudensial yang akomodatif dalam hal ini diperlukan untuk menggerakkan perbankan mendanai investasi atau modal kerja industri dalam memenuhi kepatuhan ESG-nya. Salah satu instrumen kebijakan makroprudensial yang dapat “ditumpangi” dengan kepentingan tersebut adalah Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM).

Saat ini dalam kebijakan tersebut baru memungkinkan perbankan untuk memperhitungkan pembelian green bond sebagai pemenuhan RPIM. Perlu dikembangkan bentuk pemenuhan lainnya yang juga dapat mendorong aliran kredit ke aktivitas kemitraan untuk mereduksi limbah.

Seperti misalnya, bank yang memberikan kredit dengan pola executing ke perusahaan besar untuk mendanai kemitraan dengan UMKM/startup dalam kegiatan daur ulang, atau ekonomi sirkuler, atau kegiatan lainnya yang bertujuan untuk pelestarian lingkungan, dapat diakui sebagai pemenuhan RPIM. Dengan demikian, bank akan terdorong untuk memberikan kredit untuk kegiatan pelestarian lingkungan. Di saat bersamaan, RPIM akan turut menjadi instrumen untuk menciptakan keuangan berkelanjutan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper