Bisnis.com, JAKARTA — Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia memiliki peluang yang besar untuk memperluas bisnis syariah, termasuk asuransi syariah.
Dalam meningkatkan resiliensi industri perasuransian, pemerintah pun telah menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) atau dikenal dengan omnibus law keuangan. Beleid anyar ini salah satunya menjadi payung lahirnya turunan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 11 Tahun 2023 yang mengatur pemisahan unit syariah perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
Beleid ini mewajibkan pemisahan (spin-off) unit syariah perusahaan asuransi paling lambat 31 Desember 2026 atau masih tersisa waktu 3 tahun lebih. Periode ini dinilai cukup bagi UUS asuransi dan reasuransi untuk memenuhi ketentuan dana tabarru, investasi, dan ekuitas.
Pemisahan unit syariah ini menyediakan sejumlah cara. Mulai dari mendirikan perusahaan asuransi syariah atau perusahaan reasuransi syariah baru, akuisisi perusahaan yang sudah ada, hingga transfer bisnis syariah kepada perusahaan yang ada.
Pelaku industri sendiri telah mengambil langkah aktif meski tenggat masih jauh. Misalnya PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia baru saja mengantongi restu OJK untuk menjadi perusahaan asuransi jiwa dengan prinsip syariah. Dengan kata lain, unit syariah PT Asuransi Allianz Life resmi memisahkan diri (spin-off) dengan sang induk.
Baca Juga
“Permohonan izin usaha PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia dilakukan dalam rangka pemisahan unit syariah PT Asuransi Allianz Life Indonesia,” ujar Kepala Departemen Perizinan, Pemeriksaan Khusus dan Pengendalian Kualitas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Asep Iskandar, dikutip pada Senin (18/9/2023).
Dalam perkembangan lain, PT AXA Insurance Indonesia atau yang dahulu bernama PT Mandiri Axa General Insurance mengumumkan memilih untuk menutup unit syariah perusahaan. Dalam aksi ini, perusahaan melakukan transfer portofolio terhadap polis-polis asuransi syariah yang masih aktif dengan mekanisme cancel and replace.
Manajemen AXA Insurance Indonesia mengatakan bahwa saat ini transfer portofolio asuransi syariah AXA Insurance masih dalam proses persiapan teknis. Langkah ini diambil dengan mempertimbangkan cakupan bisnis usaha syariah AXA Insurance, serta sejalan dengan fokus bisnis perusahaan ke depannya.
“Kami memastikan bahwa pelaksanaan transfer portofolio asuransi syariah ini tidak akan mengurangi hak pemegang polis dan peserta, dan mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian,” ujar manajemen dalam jawaban tertulis kepada Bisnis, pekan lalu (13/9/2023).
Kendati demikian, manajemen AXA Insurance Indonesia menegaskan bahwa rencana transfer portofolio syariah ini tidak berdampak terhadap karyawan perusahaan.
“Rencana penutupan unit syariah dan transfer portofolio asuransi syariah ini lebih lanjut akan dilaksanakan hanya setelah PT AXA Insurance Indonesia mendapatkan persetujuan formal dari OJK,” lanjutnya.
Dihubungi terpisah, Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menyebut bahwa pemisahan unit syariah asuransi terdapat kewajiban pemisahan unit syariah.
Direktur Eksekutif AASI Erwin Noekman menyampaikan bahwa pemisahan unit syariah ini dapat dilakukan dengan melalui sejumlah opsi. Opsi itu seperti mendirikan entitas baru, kemudian mengalihkan portofolio unit syariah ke entitas baru tersebut.
“Dalam artian pengelolaan portofolio syariah masih tetap dalam kendali pengelola yang sama. Entitas baru melakukan pengalihan dan menutup unit syariah,” ujar Erwin.
Opsi lain, yaitu melakukan pengalihan portofolio unit syariah ke entitas yang sudah beroperasi secara penuh atau eksisting. Dalam hal ini, pengelolaan portofolio syariah bukan lagi kendali pengelola yang sama alias pengelola kehilangan kendali.
Erwin mengatakan bahwa dari sekian banyak unit syariah yang ada, dalam pantauan AASI, terdapat dua kelompok yang sesuai dengan keputusan RUPS masing-masing memilih opsi pertama maupun opsi kedua. Namun, tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak melakukan pengalihan portofolio hingga batas 31 Desember 2026, sesuai dengan POJK 11/2023.
Menurut Erwin, langkah yang dilakukan oleh AXA Insurance Indonesia merupakan salah satu contoh perusahaan asuransi syariah yang menempuh opsi langsung pengalihan.
“Kami meyakini, perusahaan [AXA Insurance Indonesia] sudah melakukan measurement sehingga memutuskan untuk memilih opsi itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Erwin melihat sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan opsi mendirikan entitas baru sejak 2016 dan beberapa juga melakukan pada 2022 dan 2023.
“Beberapa perusahaan yang serius mengelola unit syariah, terbukti smooth dalam melakukan pendirian entitas baru,” tambahnya.
Kendati demikian, AASI memandang bahwa tidak mungkin juga semua unit syariah akan menjadi entitas baru, seiring dengan iklim kompetisi. Menurut Erwin, beberapa unit syariah akan memilih opsi transfer bisnis dan beberapa perusahaan memilih opsi pendirian bisnis baru dengan modifikasi berupa penggabungan atau peleburan.
“Apapun opsi yang dipilih, tentunya kita semua berharap ujungnya adalah industri perasuransian syariah yang sehat dan dapat berperan dalam menjadi alternatif pengelolaan risiko bagi seluruh rakyat Indonesia dan juga bagi pengelolaan aset negara,” sambungnya.
Di sisi lain, Erwin menuturkan bahwa tantangan pengelolaan perasuransian syariah terletak di beberapa faktor, salah satunya adalah pengelolaan sumber daya insani. Diyakini kelangkaan pekerja yang kompeten (scarcity of talent) menjadi salah satu faktor perusahaan tidak atau belum mampu menghasilkan produk asuransi syariah yang bukan sekadar meniru dari produk asuransi konvensional.
Selain itu, kendala kemampuan membayar juga menjadi faktor tantangan di industri ini untuk dapat merekrut talenta terbaik. Terlepas dari segala tantangan, AASI memproyeksikan bisnis asuransi syariah masih menjanjikan.
“Bicara prospek bisnis perasuransian syariah ke depannya, tentunya masih sangat menjanjikan dengan luasnya room for improvement,” lanjutnya.
Hal ini terlihat dari langkah pemerintah yang mulai melirik asuransi syariah, mulai dari keterlibatan dalam menjamin barang milik negara. Apabila ke depan, kata Erwin, pemerintah dengan kemampuan mengatur regulasi dan mengembalikan porsi asuransi syariah dalam tatanan ekosistem halal maka industri ini akan terus melaju.
"Industri asuransi syariah akan berkembang dengan sendirinya, tanpa perlu melakukan ‘kabinalisme’ terhadap bisnis konvensional,” pungkasnya.
Senada, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Taim melihat potensi bisnis asuransi syariah ke depan masih sangat besar. “Tinggal sejauh mana komitmen perusahaan asuransi syariah untuk mengembang usahanya, tentu dengan dukungan dan kepastian aturan dari OJK,” tuturnya.
Adapun tantangan yang dihadapi asuransi syariah adalah belum banyaknya pelaku industri, masyarakat serta pembuat kebijakan yang memahami industri ini, salah satunya karena masih berpacu pada ekosistem yang cenderung mirip dengan produk asuransi konvensional.
“Produk asuransi syariah yang ditawarkan mirip dengan asuransi konvensional. Jadi seperti tidak ada perbedaan antara konvensional dan syariah,” tutup Abitani.