Bisnis.com, JAKARTA — Emas kian memperkuat posisinya sebagai instrumen keuangan strategis setelah diklasifikasikan sebagai aset Tier 1 dalam kerangka Basel III oleh perbankan Amerika Serikat pada Juli mendatang.
Kebijakan ini menggantikan posisi sebelumnya sebagai aset Tier 3 di Basel I dan II. Perubahan ini dinilai akan mendorong meningkatnya permintaan emas oleh perbankan secara global sebagai bagian dari pengelolaan likuiditas dan manajemen risiko.
Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut pengakuan emas sebagai aset berkualitas tinggi (high-quality asset) dalam Basel III sehingga ditempatkan sebagai aset tier I menjadikannya lebih menarik bagi sektor perbankan.
"Emas kini sejajar dengan instrumen likuiditas utama lainnya, yang bertujuan memperkuat daya tahan perbankan terhadap krisis keuangan," kata Dian kepada Bisnis, Rabu (14/5/2025).
Menurut Dian, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling awal mengadopsi Basel III secara penuh, khususnya dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk risiko kredit. Implementasi ini telah dimulai sejak Januari 2023, tertuang dalam SEOJK No.24/SEOJK.03/2021.
"Dalam ketentuan tersebut, emas telah dikategorikan sebagai aset setara kas dengan bobot risiko 0%. Sehubungan dengan hal tersebut, tidak terjadi perubahan signifikan dalam praktik perbankan di dalam negeri," jelasnya.
Baca Juga
Namun, Dian menegaskan, pengakuan global terhadap emas akan berdampak positif bagi harga dan permintaannya ke depan.
Senada dengan itu, Analis Komoditas Keuangan Ibrahim Assuaibi menilai langkah Amerika Serikat yang menerapkan Basel III di era kepemimpinan Donald Trump akan mendorong penggunaan emas sebagai agunan kredit jangka menengah hingga panjang.
"Emas batangan kini dapat dijadikan jaminan penuh di perbankan AS. Ini mendorong perbankan untuk melihat emas sebagai instrumen investasi yang menguntungkan, baik dari fluktuasi harga maupun dari pendapatan bunga serta biaya administrasi," ujar Ibrahim.
Di Indonesia, tren serupa diprediksi akan berkembang pesat, apalagi setelah terbentuknya bullion bank dan smelter emas di Gresik. Menurut Ibrahim, peran OJK dan Bank Indonesia sangat krusial dalam mengembangkan regulasi yang mendukung penggunaan emas sebagai agunan kredit secara lebih luas.
“Jika masyarakat dapat menjaminkan emas batangan di bullion bank, ini akan membuka akses pembiayaan lebih luas, termasuk bagi sektor UMKM. Apalagi masyarakat kini cenderung beralih ke investasi logam mulia dibanding perhiasan,” kata Ibrahim saat dihubungi Bisnis.
Ibrahim memandang, dengan prospek emas yang semakin cerah sebagai aset perbankan strategis, tantangan ke depan adalah bagaimana sinergi antara OJK, Bank Indonesia, dan pemerintah dapat mempercepat regulasi yang mendorong pertumbuhan sektor logam mulia, baik untuk stabilitas sistem keuangan maupun pertumbuhan ekonomi nasional.