Bisnis.com, JAKARTA — Perbankan dinilai akan lebih selektif dalam menyalurkan kredit valuta asing (valas), terlebih di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang tembus hingga ke level Rp16.000.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyebut nantinya hal ini akan berpengaruh pada realisasi penyaluran kredit perbankan yang bakal turun pada kuartal II/2024, lantaran risikonya yang tinggi
“[Bank mengerem penyaluran kredit valas] juga terkait supply demand. Bank akan berhati-hati dalam penyaluran kredit bersamaan dengan permintaan kredit valas yang ikut menurun,” ujarnya pada Bisnis, Selasa (16/4/2024)
Pasalnya, Abdul menyebut apabila bank nekat menyalurkan kredit valas itu akan menyebabkan dia harus menambah Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang juga merupakan idle fund alias dana menganggur bagi bank yang harus dicandangkan.
Sebagaimana diketahui, CKPN menjadi tabungan untuk mengantisipasi pemburukan kualitas aset, namun juga bisa menjadi laba bisa kualitas aset membaik.
“Jadi bank tidak akan mau menambah kredit valas kalau tidak membaik," ucapnya.
Baca Juga
Meski demikian, Abdul menuturkan sejauh ini porsi kredit valas terhadap total kredit tidaklah besar. Di mana, penyaluran pembiayaan masih didominasi oleh kredit rupiah.
Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa lalu lintas kredit valas masih didominasi oleh bank besar, dengan jaringannya yang luas dan mampu memfasilitasi transaksi Letter of Credit antara bank domestik dan asing.
Senada, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menyebut bank jumbo yang memiliki kredit korporasi ataupun komersialnya dengan pinjaman valas akan terdampak. Sehingga, perlu dilakukan early warning system
“Perlu pengawasan ketat dan monitoring progress. Apabila pinjaman dolar yang kemudian dirupiahkan nilainya cukup besar, maka bank perlu mengantisipasi,” ucapnya.
Kata Amin, jika bank kurang selektif, maka akan memberikan ancaman berupa peningkatan rasio kredit bermasalah alias nonperforming loan (NPL) yang secara jangka panjang dapat menggerus laba.
Adapun, berdasarkan Statistik Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), data menunjukkan kredit valas bank umum secara industri per Januari 2024 mencapai Rp1.048,08 triliun, tumbuh 14,95% dari tahun sebelumnya Rp911,8 triliun pada 2022. Meski begitu, porsinya sangatlah kecil, hanya 14,66% dari total keseluruhan kredit.
Pada periode yang sama, kelompok bank KBMI IV menyumbang kredit valas terbanyak dengan jumlah mencapai Rp551,74 triliun pada Januari 2024 tumbuh 16,8% dari tahun sebelumnya Rp472,39 triliun. Adapun, besaran kredit valas terhadap total kredit hanya 14,88%
Sementara, penyaluran kredit valas pada bank KBMI I hanya mencapai Rp59,78 triliun. KBMI II mencapai Rp162,79 triliun serta KBMI III sebesar 273,77 triliun.
Sikap Perbankan
Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Royke Tumilaar pun menyampaikan bahwa perseroan akan sangat selektif bahkan saat ini akan menghentikan penyaluran kredit valas
“Pasti kami akan sangat selektif cenderung stop kredit valas dulu,” ujarnya pada Bisnis, Selasa (16/4/2024)
Di sisi lain, dirinya menyebut penerbitan global bond menjadi suatu keputusan yang tepat bagi perseroan. Pasalnya dia menyakini suku bunga tidak akan turun dalam waktu dekat.
Sebagai catatan, BNI memang berencana melakukan penerbitan surat utang senior dalam denominasi dolar AS atau global bond senilai US$500 juta atau sekitar Rp8,1 triliun (asumsi kurs Rp16.206)
Penerbitan Surat Utang Senior ini merupakan bagian dari penerbitan program Euro Medium Term Note yang dibentuk Perseroan pada 6 Mei 2020 sebagaimana telah diperbarui pada 22 Maret 2021 dan 26 Maret 2024 (Program EMTN).
Berdasarkan Program EMTN, Perseroan dapat menerbitkan surat utang secara bertahap dengan jumlah pokok sebanyak-banyaknya US$2 miliar.
Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini mengungkapkan, tujuan dari penerbitan ini adalah untuk mendiversifikasi sumber pendanaan dan ekspansi kredit dalam mata uang asing.
Menurutnya, sebagai bank yang aktif dalam pemberian kredit rupiah dan valas, penerbitan global bond ini akan digunakan untuk ekspansi aset valas dengan imbal hasil yang optimal yang akan memberikan dampak positif terhadap kondisi kinerja keuangan perseroan.
"Sekaligus meningkatkan kapasitas Perseroan dalam mendukung pengembangan bisnis Indonesia dari dan ke luar negeri," ujar Novita dalam keterangan tertulis, Minggu (31/3/2024)
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Darmawan Junaidi juga sempat mengatakan bahwa lesunya rupiah berpotensi meningkatkan risiko kredit pada debitur dengan pinjaman valas.
Dia pun menyebut untuk bisa mengantisipasi risiko ini, perbankan mesti memonitor secara disiplin debitur valuta asing yang pendapatannya dalam rupiah untuk memastikan kemampuan membayar atau repayment capacity dari debitur.
“Karena secara ekuivalen rupiah, maka nilai kewajiban debitur menjadi semakin besar, tapi kami sudah memperhitungkan, di mana sebagai langkah antisipatif, kami punya early warning system untuk mendeteksi potensi penurunan kinerja debitur,” ujarnya dalam paparan kinerja pada tahun lalu.