Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lampu Kuning Kredit Macet Segmen Wong Cilik

Rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) segmen UMKM mengalami pemburukan berdasarkan data OJK Mei 2024.
Ilustrasi UMKM/surakarta.go.id
Ilustrasi UMKM/surakarta.go.id

Bisnis.com, JAKARTA – Kredit macet usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), terutama segmen kredit usaha rakyat alias KUR dinilai kian membengkak. Sejumlah siasat pun disiapkan pemerintah menanggulangi kredit macet segmen wong cilik itu.

Berdasarkan Analisis Uang Beredar yang dirilis Bank Indonesia (BI), penyaluran kredit kepada UMKM pada Mei 2024 mencapai Rp1.368,2 triliun, tumbuh sebesar 7,3% secara tahunan (year on year/yoy).

Pertumbuhan penyaluran kredit UMKM terutama pada skala mikro 11,6% yoy, diikuti oleh kecil 3,6% yoy, dan menengah 4,3% yoy. 

Khusus untuk KUR, Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI telah menargetkan penyalurannya sebesar Rp300 triliun pada 2024.

Namun, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) segmen UMKM mengalami pemburukan.

Tercatat, pada Mei 2024, rasio NPL UMKM mencapai level 4,27%, naik tipis dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau April 2024 pada level 4,26%. Untuk diketahui, batas rasio NPL bank yang ditetapkan oleh regulator adalah 5%.

NPL UMKM juga membengkak sepanjang tahun berjalan atau dibandingkan Desember 2023 yang masih berada pada level 3,71%.

Begitu pun dengan KUR. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan sejumlah perusahaan yang menjamin KUR telah minta tambahan premi. Artinya, terdapat potensi adanya kredit yang bermasalah dialami penerima KUR.

Dengan kondisi seperti itu, pemerintah pun langsung bergerak. Pemerintah misalnya melakukan kajian untuk mengusulkan perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19 ke 2025.

Untuk diketahui, kebijakan stimulus restrukturisasi kredit Covid-19 diberlakukan pemerintah mulai Maret 2020. Kemudian, kebijakan tersebut telah berakhir pada 31 Maret 2024.

Airlangga menyampaikan saat ini regulator belum memutuskan perpanjangan relaksasi jadi dilakukan atau tidak, tetapi sedang mengkaji cara lain untuk memperbaiki portfolio kredit tersebut.

“Iya kami lihat nanti [jadi atau tidak]. Kami akan studi, ada cara lain yang bisa dilakukan [selain perpanjangan relaksasi], kami kaji dalam kebijakan KUR,” ujarnya usai acara One Map Policy Summit 2024 di Hotel St. Regis, Kamis (11/7/2024). 

Sebelumnya, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) atau Indonesia Financial Group (IFG) juga mengusulkan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp3 triliun. Tambahan modal ini ditujukan untuk memperkuat program KUR yang dikelola oleh PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) sebagai penjamin. 

Direktur Utama IFG, Hexana Tri Sasongko, menjelaskan kedua perusahaan ini menanggung risiko sebesar 70% setelah KUR disalurkan oleh bank, dengan menerima imbal jasa sebesar 1,5% hingga 2%.

Lampu Kuning Kredit Macet Segmen Wong Cilik

Pelaku usaha UMKM menyiapkan pesanan pembeli yang bertransaksi secara online. /Bisnis - M. Faisal Nur Ikhsan

"Dalam posisinya sebagai penjamin, Askrindo dan Jamkrindo menanggung risiko 70% setelah KUR disalurkan oleh bank penyalur," ujar Hexana dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Komisi VI DPR RI, Jakarta, Rabu (10/7/2024).

Hexana menyebut KUR sebenarnya telah memberikan dampak positif terhadap ekonomi Indonesia dengan penyaluran sebanyak Rp1.175 triliun pada 2007-2023 yang mampu menjangkau 60 juta UMKM dan menciptakan 94 juta lapangan kerja.

Selain itu, KUR juga membantu pemulihan ekonomi nasional selama pandemi Covid-19, dengan peningkatan penyaluran hingga 2,6 kali lipat.

Namun, pandemi menyebabkan combined ratio mencapai di atas 100%, diperkirakan akan meningkat menjadi di atas 200% pada 2024.

Kondisi ini menggerus ekuitas Askrindo dan Jamkrindo, sehingga diperlukan penguatan modal untuk menjaga keberlanjutan program KUR.

Sinyal dari OJK 

Kondisi kredit macet yang dihadapi segmen UMKM, khususnya KUR memang membuat pemerintah khawatir hingga mengusulkan perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19. Hal ini pun direspons oleh OJK.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar memang tidak mengatakan secara gamblang menolak usulan pemerintah. Namun, dia menuturkan bahwa saat regulator menetapkan pengakhiran kebijakan relaksasi, OJK telah menghitung seberapa besar luka lebam alias scaring effect dari pandemi terhadap kondisi perbankan.

Lebih lanjut, terkait kondisi restrukturisasi, kata Mahendra, bank telah membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai dengan coverage rasio mencapai 33,84%. 

“Hal ini menunjukkan bahwa bank secara umum menerapkan manajamen risiko dan prinsip kehati-hatian yang baik,” katanya.

Sementara itu, dia mencatat nilai kredit restrukturisasi Covid-19 per Mei 2024 atau dua bulan usai pencabutan relaksasi pada 31 Maret 2024 terus turun, mencapai Rp192,52 triliun, dari April 2024 yang mencapai Rp207,4 triliun. 

Apabila dirinci berdasarkan pembagian jumlahnya, yang bersifat targeted mencapai Rp72,7 triliun, sementara untuk jumlah restrukturisasi secara menyeluruh untuk Covid-19 sebesar Rp119,8 triliun.

“Tentu angka ini jauh lebih kecil dibanding puncaknya yaitu yang terjadi pada Oktober 2020, di mana perbankan turun Rp820 triliun,” ujar Mahendra.

Lampu Kuning Kredit Macet Segmen Wong Cilik

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Lebih lanjut, jumlah debitur saat ini pun terus mengalami tren yang menurun, di mana saat ini berkisar 702.000 dibanding pada saat puncak yang mencapai 6,8 juta.

Perbankan pun menanggapi usulan pemerintah agar restrukturisasi kredit Covid-19 diperpanjang. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) misalnya merupakan bank yang paling banyak mendapatkan alokasi KUR. Pada 2024 alokasi KUR BRI mencapai Rp165 triliun.

Direktur Bisnis Mikro BRI Supari mengatakan BRI sendiri telah menjalankan program restrukturisasi kredit Covid-19 sejak Maret 2020 dalam rangka penyelamatan segmen UMKM dari dampak pandemi Covid-19.

Dalam menjalankan restrukturisasi, BRI fokus terhadap penyehatan nasabah dan sebagai wujud kehati-hatian selama pandemi. "BRI pun telah menyiapkan pencadangan yang lebih konservatif untuk mengantisipasi risiko ke depan," kata Supari kepada Bisnis pada bulan lalu (30/6/2024).

Supari mengatakan ke depan, BRI berharap adanya kebijakan penguatan yang dapat memperkuat daya beli masyarakat dan meningkatkan konsumsi rumah tangga.

"Sebab, dua faktor tersebut menjadi driver utama pertumbuhan kredit UMKM yang menjadi kontributor utama dan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia di tengah kondisi makro ekonomi yang menantang," ujar Supari.

Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR), Yuddy Renaldi mengatakan berakhirnya kebijakan relaksasi Covid-19 memang akan berdampak pada beberapa akun khususnya pada segmen yang belum pulih pasca berakhirnya pandemi.

“Iya ini termasuk di BJB, selain terdampak oleh dinamika perekonomian yang terjadi pascapandemi,” ujarnya kepada Bisnis, pada bulan lalu (25/6/2024).

Namun, kata Yuddy, perbankan juga telah mengantisipasi dengan pembentukan pencadangan yang memadai, sehingga tidak akan berdampak signifikan pada permodalan dan rentabilitas bank. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper