Bisnis.com, JAKARTA -- Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyebut ada tantangan yang dihadapi di tengah tren suku bunga acuan yang tinggi, yakni rebutan likuiditas antara Bank Indonesia (BI), Pemerintah, serta perbankan.
Dia mengatakan di tengah tren suku bunga acuan tinggi, ada tantangan bagi industri perbankan yang tidak mudah.
"Ada BI, Pemerintah, dan bank. Ketiga ini akan berebut likuiditas," ujarnya dalam acara virtual seminar yang digelar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) pada Jumat (26/7/2024).
Menurutnya, BI perlu meraup likuiditas guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. BI pun menerbitkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Pemerintah pun perlu meraup dana guna membiayai pembangunan dengan cara menerbitkan surat berharga negara (SBN).
Sementara itu, dia mengatakan bank juga perlu untuk kredit sehingga perlu ada sinkronisasi.
"Sinkronisasi bisa dilakukan di Komite Stabilitas Sistem Keuangan [KSSK]," kata Aviliani.
Sebelumnya, Anggota Komisi VI Jon Erizal juga mengatakan saat ini likuiditas di pasar memang sedang ketat seiring dengan tren suku bunga tinggi The Fed. Perbankan harus meraup pendanaan salah satunya dengan menerbitkan obligasi atau bond, di samping meraup simpanan nasabah.
Namun, di sisi lain pemerintah menerbitkan SBN dan BI menerbitkan SRBI.
"Jadi, Himbara [Himpunan Bank Milik Negara] ini bersaing dengan negara juga, negara jual bond surat utang sendiri, kemudian bank-bank ini disuruh cari dana sendiri," katanya dalam rapat dengar pendapat Komisi VI DPR RI pada awal bulan ini (8/7/2024).
Adapun, yield yang ditawarkan oleh SBN menurutnya lebih tinggi dibandingkan obligasi yang ditawarkan perbankan.
"Jadi, persaingan ini sulit bagi perbankan," ujar Jon.
Apalagi, menurutnya The Fed diproyeksikan tidak akan menurunkan suku bunga acuannya pada tahun ini. Hal tersebut membawa tekanan likuiditas bagi perbankan.
"Harus dipikirkan bagaimana perkembangan sumber dana ini. Banyak hal harus diantisipasi," tuturnya.
Kondisi Likuiditas di Bank
Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Royke Tumilaar juga mengatakan saat ini, terjadi tren suku bunga acuan pada level yang tinggi dalam waktu yang lama atau higher for longer.
The Fed sendiri masih mempertahankan bunga acuannya atau Fed Fund Rate di level 5,5%. Kondisi tersebut akan berdampak terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Namun, meski rupiah terus melemah, nyatanya investor asing tetap masuk ke Indonesia.
Sementara, yang jadi tujuan investasi dari investor asing adalah SRBI. Di sisi lain, suku bunga acuan BI masih di level yang tinggi, di mana pada April 2024 telah mengalami kenaikan 25 basis poin (bps). Suku bunga SRBI pun naik sebesar 65 bps.
Hal tersebut memang menarik foreign inflow dan menstabilkan rupiah. Namun, di tengah kondisi tersebut, likuiditas rupiah terserap besar, di mana 70% melalui SRBI.
"Kesimpulannya, likuiditi ketat,” ungkap Royke dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) Nixon L.P. Napitupulu juga menyatakan saat ini likuiditas sedang mahal. Sejumlah target bisnis bank pun diturunkan dalam mengantisipasi tren mahalnya likuiditas.
"Kami turunkan terus ekspansi kredit, karena cost of fund [biaya dana] mahal. Belum tahu kapan turunnya," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI.
Namun, Deputi Gubernur BI Doni P. Joewono mengatakan pembelian SRBI oleh investor domestik yang lebih tinggi tidak memicu efek crowding out dan menguras likuiditas perbankan.
“Jadi perkembangannya semua naik DPK [dana pihak ketiga] naik, kredit naik dan SRBI naik. Betul ada sedikit alokasi dari SBN ke SRBI tapi ini tidak mengurangi komposisi bank bahwa dia tetap menjalankan fungsi untuk memberikan kredit jauh lebih banyak dibanding sebelumnya,” ujarnya dalam RDG Juli 2024, Rabu (17/7/2024).