Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat premi lini usaha properti pada Januari-Maret 2024 meningkat 51% menjadi Rp9,59 triliun dari periode yang sama 2023 sebesar Rp6,3 triliun.
Ketua AAUI Budi Herawan mengatakan premi yang besar itu lebih disebabkan karena penarikan premi dari rentang waktu setahun sebelumnya, bukan karena pembangunan properti baru seperti dari hunian tempat tinggal.
"Enggak terlalu signifikan [properti baru termasuk hunian]. Tarifnya juga gak terlalu besar. Itu masuk di kategori kalau untuk individual hunian masuk di small medium enterprise. Tapi kalau gedung itu, gak terlalu besar juga," kata Budi kepada Bisnis, Senin (29/07/2024).
Adapun saat ini pemerintah punya program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) untuk KPR rumah subsidi. Sebagai ketentuan KPR FLPP, suku bunga flat 5% yang ditetapkan tersebut sudah termasuk premi asuransi jiwa, asuransi kebakaran dan asuransi kredit.
Hingga 13 Juni 2024, KPR FLPP telah disalurkan kepada 80.950 unit, atau 48,77% dari yang ditargetkan pemerintah 166.000 unit rumah di 2024 ini.
Budi menjelaskan program rumah subsidi pemerintah tersebut belum bisa dipastikan signifikan mendongkrak penerimaan premi asuransi properti karena di dalamnya juga termasuk asuransi jiwa dan asuransi kredit.
"Kalau dari propertinya sendiri seperti yang saya sebutkan tadi gak terlalu besar, walaupun jumlahnya cukup signifikan," jelasnya.
AAUI mencatat pada 2023 premi dicatat dari lini usaha properti hanya tumbuh 1% dari Rp26,23 triliun pada 2022 menjadi Rp26,48 triliun di 2023. Namun secara pangsa pasar premi dicatat, lini usaha properti nomor satu mengungguli asuransi kredit dan asuransi kendaraan bermotor.
Pada semester II/2024, Budi berharap terjadi pertumbuhan premi asuransi properti seperti capaian di 2023. Menurutnya, industri asuransi umum harus mencari pasar baru yang bisa menjadi potensi pendapatan premi asuransi.
"Karena 'kue-kuenya' masih terbatas belum ada kue baru. Harapannya yang pasti kalau kapasitas reasuransinya kembali normal paling tidak bisa mendongkrak. Sekarang juga kan banyak terindikasi self insurer karena tidak terpenuhinya kapasitas reasuransi yang cukup," tegasnya.