Bisnis.com, JAKARTA - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar buka suara usai Jaringan Komunitas Untuk BPJS Ketenagakerjaan (JKU-BPJS TK) meminta pemerintah merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.5/2021.
Aturan ini mengatur tata cara penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), dan jaminan hari tua (JHT).
Timboel menilai, persoalan bukan di tingkat regulasi melainkan di tingkat pelaksanaan. Pasalnya, persoalan terjadi pada saat pendaftaran di mana BPJS Ketenagakerjaan menerima pendaftaran tanpa melakukan pengecekan lebih lanjut.
“Sehingga ketika klaim dilakukan dan ada dugaan fraud pada saat mendaftar dan setelah diperiksa memang ada fraud maka pihak BPJS tidak mau membayar klaim,” kata Timboel kepada Bisnis, Selasa (13/8/2024).
Alih-alih merevisi Permenaker, menurutnya BPJS Ketenagakerjaan perlu melakukan pengecekan pada saat pendaftaran JKK-JKM. Misalnya, dengan memeriksa kondisi pendaftar baru apakah sedang sakit atau sehat, apakah pendaftar masih bekerja atau menganggur, hingga apakah pekerja merupakan penerima upah atau bukan penerima upah.
Menurutnya dengan adanya pemeriksaan di awal, maka fraud pendaftaran dapat diminimalisir.
Baca Juga
“Jadi menurut saya bukan revisi permenaker yang dilakukan,” ujarnya.
JKU-BPJS TK sebelumnya meminta pemerintah untuk merevisi Permenaker No.5/2021. Koordinator JKU-BPJS TK Hartoyo menyebut bahwa sebagai acuan BPJS Ketenagakerjaan, pasal-pasal yang tercantum dalam aturan ini kurang jelas.
Dia mencontohkan, Kemnaker dalam beleid itu tidak memberikan kewenangan bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk menolak klaim peserta. Adapun BPJS Ketenagakerjaan hanya diberi wewenang melakukan verifikasi kepastian kematian.
Sementara pelaksanaan di lapangan sangat jauh berbeda dari aturan yang ada. Hartoyo mengungkapkan, terjadi beberapa kasus penolakan klaim kematian terhadap peserta BPJS Ketenagakerjaan, khususnya bukan penerima upah (BPU).
Alasan penolakan klaim antara lain karena peserta tidak bekerja atau tidak memiliki pendapatan, memiliki penyakit menahun, dan surat wasiat tidak diakui lantaran tidak terhubung dengan saudara biologis.
Hartoyo menilai, hal ini telah menyalahi substansi Permenaker No.5/2021 serta melampaui wewenang dan mandat institusi BPJS Ketenagakerjaan.
“Itu semua di Permenaker nggak terlalu detail, nggak jelas. Akibatnya BPJS ini dalam tanda kutip kayak buat ide-ide sendiri gitu. Jadi kayak punya wewenang sendiri, bisa nolak atau tidak klaim BPJS ini,” tutur Hartoyo saat ditemui di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Selasa (13/8/2024).
Untuk itu, dia mengusulkan beberapa poin yang dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dalam merevisi Permenaker No.5/2021.
Salah satunya, meminta BPJS Ketenagakerjaan melakukan verifikasi sejak peserta mulai melakukan pendaftaran. Menurutnya, tidak ada lagi ruang penolakan klaim pada saat masyarakat resmi menjadi peserta, mendapatkan kartu, dan membayar iuran. Kecuali ada ketidaksesuaian data mendasar seperti peserta tidak meninggal tapi dilaporkan meninggal.
Termasuk di saat pendaftaran. Jika peserta tidak ada atau tidak terhubung dengan keluarga, lanjutnya, peserta dapat menentukan pihak yang ditunjuk sebagai penerima wasiat yang diketahui oleh pihak desa atau kelurahan.
“Jadi saat pendaftaran jika ingin dibatalkan sebagai peserta mulai saat itu,” ujarnya.
Pihaknya juga mengharapkan agar pemerintah membuat sistem yang memudahkan peserta melakukan klaim BPJS Ketenagakerjaan. Misalnya, dengan mengacu pada sistem data tunggal yakni Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk memudahkan proses pendaftaran dan klaim. Sebab dalam kasus-kasus tertentu, banyak peserta yang gagal melakukan klaim lantaran tidak dapat memenuhi syarat-syarat dokumen yang diminta.
“Jadi BPJS itu hanya butuh mensinkronkan datanya dengan Dukcapil dan dengan data Bank Indonesia,” pungkasnya.