Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) tetap optimistis bahwa premi asuransi jiwa pada tahun depan akan mengalami kenaikan, meskipun pada kuartal III 2024, kenaikan premi cukup tipis.
AAJI mencatat premi industri asuransi jiwa mencapai sebanyak Rp132,27 triliun per kuartal III/2024. Angka tersebut tumbuh 0,2% apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya Rp132,04 triliun. Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon, mengatakan bahwa meskipun angka kenaikan tersebut terbilang rendah, tren industri asuransi jiwa secara keseluruhan tetap menunjukkan arah positif.
“Kalau mengenai bagaimana GWP tahun depan. Menurut saya sih, kami tetap memandang optimis karena kalau kita lihat sama-sama ya intinya trendnya sedang naik meskipun naiknya masih landai tapi lebih berkualitas kok, karena lebih banyak reguler premium daripada single premium,” kata Budi dalam konferensi pers kinerja industri asuransi jiwa Januari—September 2024 pada Jumat (29/11/2024) di Jakarta.
Budi menjelaskan bahwa meskipun industri menghadapi tantangan, perkembangan yang lebih berkualitas dari produk-produk asuransi, khususnya yang berbasis premi reguler, menunjukkan adanya potensi pertumbuhan yang lebih stabil.
Adapun premi reguler merupakan pembayaran premi asuransi yang dilakukan secara berkala, seperti bulanan, setiap enam bulan, atau tahunan. Penurunan suku bunga yang sedang terjadi juga dianggap sebagai peluang bagi produk-produk asuransi tradisional untuk semakin diminati oleh masyarakat.
“Kemudian kalau betul apa yang kita lihat di Amerika, di banyak negara besar tingkat bunga mulai turun maka ruang untuk pertumbuhan produk tradisional terus naik,” tambahnya.
Baca Juga
Namun, Budi juga mengungkapkan bahwa tantangan terbesar bagi industri asuransi jiwa Indonesia ke depan adalah mengembalikan porsi unit link, yang selama beberapa tahun terakhir mengalami penurunan.
“PR kami adalah bagaimana ceritanya mengembalikan porsi dari unit link dalam tahun-tahun depan,” katanya.
AAJI mencatat perolehan premi berdasarkan produk unit linked mencapai sebanyak Rp53,82 triliun yang mana mengalami penurunan 16,4% secara tahunan (year on year/yoy) dari Rp64,37 triliun. Sementara itu produk tradisional, perolehan preminya mencapai Rp78,46 triliun yang mana naik 15,9% yoy dari sebelumnya Rp67,67 triliun per September 2023.
Dari sisi premi berdasarkan tipe pembayaran, premi reguler mencapai sebanyak Rp79,08 triliun yang mana naik 5,7% yoy dari sebelumnya Rp74,83 triliun. Sementara premi tunggal mencapai sebanyak Rp53,19 triliun, turun 7% dari sebelumnya Rp57,21 triliun.
Sebelumnya, AAJI sebelumnya juga menyoroti empat peluang dan tantangan yang dihadapi industri asuransi jiwa ke depan. Pertama industri asuransi dihadapkan pada penerapan standar akuntansi baru, PSAK 117 atau IFRS 17, yang akan mulai berlaku penuh pada awal 2025. Budi memastikan sebagian besar perusahaan asuransi jiwa telah melakukan persiapan dan adaptasi untuk mematuhi aturan tersebut.
“Di awal tahun depan PSAK 117 atau IFRS 17 akan secara penuh mulai diadopsi. Segala jenis persiapan dan adaptasi telah dilakukan oleh sebagian besar perusahaan untuk bisa secara penuh comply atas aturan PSAK yang sudah mulai berlaku ini,” ungkapnya.
Kemudian, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan yang dikhawatirkan akan semakin menekan daya beli masyarakat, termasuk terhadap produk asuransi jiwa.
Budi mengatakan kenaikan PPN tersebut dapat menjadi tantangan besar bagi industri yang selama ini masih dianggap kebutuhan tersier oleh masyarakat Indonesia.
“Dengan kondisi perekonomian nasional yang belum benar-benar membaik, daya beli masyarakat masih mengalami tekanan, terlebih wacana kenaikan pajak pertambahan nilai [PPN 12%] secara tidak langsung nantinya berpotensi untuk menekan daya beli masyarakat, khususnya untuk produk asuransi jiwa yang masih tergolong kebutuhan tersier,” kata Budi.
Selain itu, klaim kesehatan juga terus mendominasi akibat tingginya inflasi biaya medis yang menjadi salah satu tantangan utama industri. Laporan AAJI pada periode Januari hingga September 2024, menunjukan klaim kesehatan mencapai sebanyak Rp20,91 triliun, yang mana naik 37,2% secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan Rp15,24 triliun.
“Hal ini tentunya masih disebabkan oleh tingginya inflasi biaya medis yang diprediksi masih akan berlanjut di beberapa waktu ke depan. Namun, kami terus berupaya untuk berdiskusi dengan berbagai pihak untuk tetap menjaga industri ini stabil dan masyarakat nantinya diharapkan tetap bisa mendapatkan pelayanan dan proteksi kesehatan yang sesuai,” kata Budi.
Namun, tren penurunan suku bunga memberikan secercah peluang bagi industri asuransi jiwa. Menurut Budi, penurunan suku bunga dapat membantu menarik lebih banyak masyarakat untuk mempercayakan pengelolaan keuangannya ke produk-produk asuransi jiwa.
“Terakhir, tantangannya adalah yang sekaligus bisa menjadi peluang yaitu tren penurunan suhu bunga yang bisa memberikan dampak positif untuk menarik lebih banyak masyarakat untuk mempercayakan pengelolaan keuangannya ke produk-produk asuransi jiwa,” katanya.