Bisnis.com, JAKARTA — Belum semua pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja atau PHK memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS Ketenagakerjaan sehingga tidak dapat menikmati manfaat tunai yang diberikan.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan menilai hal itu dikarenakan lemahnya pengawasan pemerintah untuk memastikan semua pengusaha mendaftarkan pekerjanya.
"Yang ini mesti pengawasan yang lebih diperketat agar pekerja terdaftar di BPJS, supaya dapat JKP tersebut," kata Hadi kepada Bisnis, Senin (17/2/2025).
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6/2025 tentang Perubahan Atas PP 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, peserta program JKP BPJS Ketenagakerjaan harus memenuhi syarat yaitu warga negara Indonesia (WNI), belum mencapai usia 54 tahun, dan mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha.
Selain itu, peserta JKP juga harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja yang bekerja pada usaha besar dan menengah diikutsertakan pada program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kematian (JKM), serta terdaftar pada program Jaminan Kesehatan Nasinonal (JKN) BPJS Kesehatan.
Sementara itu, bagi pekerja yang bekerja pada usaha mikro dan usaha kecil, diikutsertakan sekurang-kurangnya pada program JKK, JHT, JKM, serta program JKN BPJS Kesehatan.
Baca Juga
Program JKN BPJS Kesehatan ini tak terbatas pada segmen pekerja penerima upah (PPU), sehingga peserta mandiri dan peserta penerima bantuan iura (PBI) yang memenuhi persyaratan juga dapat didaftarkan menjadi peserta program JKP.
Hadi melihat, tidak eligible-nya pekerja menjadi peserta JKP ini dikarenakan pekerja tidak didaftarkan pengusaha menjadi peserta program JKN BPJS Kesehatan. Untuk itu menurutnya pengawasan perlu diperketat.
"Pengawasan bisa dari pengawas ketenagakerjaan, bisa pula dari BPJS," jelasnya.
Dalam PP 6/2025 juga mengatur penyesuaian manfaat JKP menjadi sebesar 60% dari upah terakhir pekerja, dengan batas atas Rp5 juta, yang dibayarkan secara flat selama enam bulan.
Dalam aturan sebelumnya, manfaat JKP ini dibayarkan sebesar 45% dalam tiga bulan pertama dan 25% pada tiga bulan berikutnya. Hadi mengatakan penambahan manfaat JKP ini akan sangat membantu pekerja terdampak PHK.
"JKP sangat bermanfaat bagi buruh dan tidak membebani pengusaha. Jadi sangat melindungi buruh, meski belum maksimal. Sehingga kenaikan cover jadi 60% itu luar biasa," pungkasnya.
Adapun Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sepanjang Januari—September 2024 terdapat 245.039 pekerja terkena PHK. Dalam periode tersebut, klaim program JKP yang sudah dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp289,96 miliar yang diberikan untuk 40.000 lebih pekerja.
Sebelumnya, Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Oni Marbun mengatakan sebagian besar dari pekerja terdampak PHK sebagaimana tercatat di data Kemenaker memang telah mendapatkan manfaat program JKP. Namun, dia mengakui masih terdapat kesenjangan.
"Namun, masih ada kesenjangan antara jumlah pekerja yang ter-PHK dengan penerima manfaat JKP. Hal ini disebabkan karena tidak seluruhnya pekerja yang mengalami PHK eligible sebagai peserta JKP maupun eligible sebagai penerima manfaat JKP," kata Oni kepada Bisnis, Rabu (13/11/2024).
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, Oni mengatakan BPJS Ketenagakerjaan terus berupaya untuk mendorong kepada pemberi kerja yang belum patuh untuk segera mendaftarkan seluruh pekerjanya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.
"Dengan begitu pekerja dapat terlindungi dari berbagai risiko sosial ekonomi yang salah satunya diakibatkan oleh PHK," ujarnya.