Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan asuransi umum PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia (ACPI) mendukung upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengejar defisit reasuransi di Indonesia yang trennya dalam tiga tahun terakhir terus melebar.
Wakil Presiden Direktur ACPI Nicolaus Prawiro mengatakan untuk mencapai hal itu industri asuransi di Indonesia harus memprioritaskan penggunaan dukungan atau backup dari perusahaan reasuransi dalam negeri untuk mengurangi premi asuransi yang lari ke luar negeri.
"Sejauh ini kami sangat memprioritaskan penggunaan dukungan reasuransi dalam negeri, baik dalam reasuransi treaty maupun reasuransi fakultatif. Bahkan untuk reasuransi treaty, ACPI selalu menggunakan dukungan/backup 100% dari perusahaan reasuransi dalam negeri," kata Nico kepada Bisnis, Senin (28/4/2025).
Sebagai informasi, perbedaan utama antara reasuransi treaty dan fakultatif terletak pada kewajiban dan fleksibilitas dalam pengalihan risiko. Reasuransi treaty adalah perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi (ceding company) untuk secara otomatis mengalihkan sebagian risiko ke perusahaan reasuransi (reinsurer) selama periode tertentu, biasanya 12 bulan.
Sebaliknya, reasuransi fakultatif memberikan kebebasan kepada ceding company untuk menawarkan atau tidak menawarkan risiko secara individual, dan reinsurer memiliki hak untuk menerima atau menolak risiko tersebut.
Adapun besaran defisit reasuransi di Indonesia berturut-turut dari 2022 hingga 2024 tercatat sebesar Rp7,95 triliun, Rp10,20 triliun, hingga membengkak menjadi Rp12,10 triliun. Selain defisit yang melebar, porsi reasuransi ke luar negeri juga terus membesar. Masing-masing pada periode 2022, 2023, dan 2024 adalah 34,8%, 38,1%, dan menjadi 40% pada 2024.
Baca Juga
Menurut Nico, tren melebarnya defisit reasuransi tersebut disebabkan oleh kenaikan kurs mata uang dolar terhadap rupiah yang menyebabkan nominal untuk pembayaran reasuransi semakin besar.
"Selain itu, juga ada faktor dari adanya kenaikan biaya premi retrosesi ke reasuransi karena maraknya klaim katastropik di belahan dunia lain," ujar Nico.
Nico menjelaskan, meskipun industri asuransi Indonesia tidak mengalami klaim katastropik yang signifikan, namun perubahan kondisi pasar asuransi/reasuransi global dengan adanya peningkatan risiko dan klaim asuransi dengan nilai yang besar, yang bersumber dari negara lain di berbagai belahan dunia, mengakibatkan perusahaan reasuransi dunia menaikkan harga premi reasuransi/retrosesi kepada perusahaan asuransi/reasuransi di Indonesia.
Selain memprioritaskan reasuransi domestik, Nico mengatakan untuk mengejar defisit reasuransi saat ini industri asuransi Indonesia harus memperbaiki ekosistem yang ada, dimulai dengan perbaikan kondisi industri asuransi sesuai perkembangan kondisi ekonomi terbaru.
"Kita tahu bahwa kenaikan biaya klaim, inflasi, dan biaya SDM terus mengalami kenaikan dari beberapa tahun yang lalu, dan menaikkan kapasitas akseptasi risiko untuk mengurangi ketergantungan dari perusahaan reasuransi luar negeri atau global," pungkasnya.