Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BISNIS INDONESIA AWARD 2014: Profil Nominee Sektor Industri Dasar dan Kimia

Harian Bisnis Indonesia hari ini menggelar Bisnis Indonesia Award (BI Award) sebagai ajang pemberian penghargaan tahunan kepada perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek Indonesia dan perusahaan pendukung lain di pasar finansial. Berikut ini daftar nominee Bisnis Indonesia Award 2014 di sektor industri dasar dan kimia.
  Kegiatan Bisnis Indonesia Award.  / Bisnis.com
Kegiatan Bisnis Indonesia Award. / Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA-- Harian Bisnis Indonesia hari ini menggelar Bisnis Indonesia Award (BI Award) sebagai ajang pemberian penghargaan tahunan kepada perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek Indonesia dan perusahaan pendukung lain di pasar finansial. Berikut ini daftar nominee Bisnis Indonesia Award 2014 di sektor industri dasar dan kimia.

SEKTOR INDUSTRI DASAR DAN KIMIA

PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP)

PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. berdiri pada 16 Januari 1985, sebagai hasil penggabungan enam perusahaan semen yang pada saat itu memiliki delapan pabrik. Indocement memroduksi semen dan saat ini memiliki beberapa anak perusahaan yang memroduksi beton siap-pakai (ready-mix concrete/RMC) serta mengelola tambang agregat dan trass.
Selama 38 tahun beroperasi, Indocement terus menambah jumlah pabriknya, hingga saat ini mencapai 12 pabrik. Indocement juga terus meningkatkan kapasitas produksinya dan saat ini merupakan salah satu produsen semen terbesar di Indonesia. Sebagian besar pabrik Indocement berada di Jawa.
Sembilan pabrik berlokasi di Citeureup, Bogor, Jawa Barat, dan saat ini merupakan salah satu kompleks pabrik semen terbesar di dunia. Dua pabrik berlokasi di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, serta satu pabrik berlokasi di Tarjun, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pada 9 Oktober 2013,  Indocement memulai pembangunan Pabrik ke-14 di Citeureup, Bogor.
Pada 31 Desember 2013, Indocement memiliki kapasitas produksi terpasang per tahun sebesar 18,6 juta ton semen, 4,4 juta meter kubik RMC, dengan 40 batching plant dan 648 truk mixer, serta 2,5 juta ton cadangan agregat.
Indocement mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada 5 Desember 1989 dengan kode saham INTP. Sejak 2001, mayoritas saham perseroan dimiliki oleh perusahaan dalam  HeidelbergCement Group, Jerman. HeidelbergCement merupakan pemimpin pasar global agregat dan pelaku bisnis terkemuka di bidang semen, RMC dan aktivitas hilir lainnya, menjadikannya salah satu produsen bahan bangunan terbesar di dunia. Group memekerjakan sekitar 52.600 personil di 2.500 lokasi di lebih dari 40 negara.
Dengan merek Tiga Roda, Indocement telah menjual 18,2 juta ton semen pada 2013, yang merupakan penjualan semen terbesar oleh sebuah entitas tunggal di Indonesia. Produk semen Perseroan adalah Portland Composite Cement (PCC), Ordinary Portland Cement (OPC) Tipe I, Tipe II dan Tipe V, Oil Well Cement (OWC), Semen Putih dan TR-30 Acian Putih. Indocement adalah satu-satunya produsen Semen Putih di Indonesia.
Selain itu, penjualan RMC yang diproduksi oleh entitas anak Indocement, PT Pionirbeton Industri, meningkat sekitar 41,6% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadikan Indocement pemimpin pasar bisnis RMC di Indonesia. Dalam menjalankan usahanya, Indocement berkomitmen untuk fokus pada pengembangan yang berkelanjutan melalui komitmen terus menerus untuk mengurangi emisi karbon dioksida dari proses produksi semen yang dihasilkannya. Indocement adalah perusahaan pertama di Asia Tenggara yang menerima Emisi Reduksi yang Disertifikasi (Certified Emission Reduction/CER) untuk proyek bahan bakar alternatif dalam kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM).



PT Alakasa Industrindo Tbk (ALKA)

PT Alakasa Industrindo Tbk, produsen dan dustributor produk aluminium yang berdiri pada 21 Februari 1972, tengah menjajaki lini bisnis alternatif selain melakukan diversifikasi produk untuk mendorong peningkatan kinerja tahun ini.
Hilton Barki, Presiden Direktur Alakasa Industrindo, mengemukakan hingga saat ini perseroan secara intensif mencari peluang usaha alternatif dengan memperhatikan nilai investasi dan resiko bisnis.
"Entitas anak yang bergerak di bidang industri aluminium ekstruksi tengah melakukan diversifikasi produk, sementara entitas anak yang bergerak pada trading produk aluminium, tahun ini akan memperdagangkan komoditas baru," ujarnya dalam keterangan resmi, tahun lalu.
Adapun, emiten berkode saham ALKA tersebut memiliki dua anak perusahaan yakni PT Alakasa Extrusindo dengan bidang usaha industri aluminium, serta Alakasa Company Limited yang bergerak di sektor perdagangan bahan baku dan berbasis di Hongkong.
Langkah diversifikasi tersebut dilakukan perseroan seiring dengan pendapatan di kuartal I/2013 yang menurun 15,7% menjadi Rp151,5 miliar secara kuartalan. Kendati demikian, efesiensi keuangan yang dilakukan perseroan mampu mendongkrak perolehan laba bersih kuartal I/2013 yang tumbuh progresif hingga 51% menjadi Rp953 juta dari Rp629,6 juta di kuartal I/2012).
Adapun, dari sisi volume penjualan produk aluminium untuk pasar domestik, perseroan pada kuartal I/2013 mencapai 570 ton dengan nilai sebesar Rp23 miliar, sementara pada kuartal I/2012 nilai penjualan produk aluminium sebesar 411 ton senilai Rp16,3 miliar.
Sementara penjualan bahan baku aluminium untuk perdagangan ekspor, pada kuartal I/2013 mengalami penurunan dengan volume menjadi 32.828 Metric Tonnes (MT) atau turun 26,86% dibandingkan dengan kuartal I/2012 yang mencapai mencapai 44.880 MT.
Penurunan ini juga mengakibatkan nilai penjualan turun sebesar 26,37% dari US$17,8 juta menjadi US$13.1juta pada kuartal I/2013).


PT Jaya Pari Steel Tbk (JPRS)

PT Jaya Pari Steel (Jaya Pari) didirikan sejak  1973 dan mulai beroperasi secara komersial pada  1976. Perusahaan yang mulai memproduksi plat baja sejak 1982 ini, dikenal sebagai salah satu produsen baja berkualitas di tanah air. Satu diantara buktinya, Jaya Pari sudah menerima berbagai sertifikasi di bidang industri baja. Seperti, sertifikat produk baja dari Biro Klasifikasi Indonesia dan Lloyd’s Register of Shipping.
Produk baja Jaya Pari seluruhnya dipasarkan ke pasar domestik, diantaranya ke kawasan DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten. Dengan kapasitas produksi 66.000 ton per tahun, Jaya Pari siap memenuhi semua kebutuhan plat baja panas berkualitas.
Jaya Pari berkomitmen menyediakan produk baja berkualitas dan pelayanan yang memuaskan pada para pelanggannya. Jaya Pari juga berkomitmen menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan mengutamakan factor keselamatan karyawan dalam lingkungan kerja.
Untuk meningkatkan kinerja perusahaan, Jaya Pari bekerja sama dengan PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk dan PT Surya Steel. Kerjasama ini bertujuan untuk menjamin pengadaan bahan baku dan penjualan produk utama serta waste yang dihasilkan.
Emiten manufaktur baja, PT Jaya Pari Steel Tbk (JPRS) membukukan laba bersih Rp4,86 miliar pada kuartal pertama tahun ini, berbalik dari posisi yang sama tahun lalu, yang tercatat rugi bersih Rp1,53 miliar.
Capaian laba bersih perseroan yang dipimpin oleh Gwie Gunadi Gunawan itu ditopang dari menurunnya beban pokok penjualan 12,84% menjadi Rp71,99 miliar, dari Rp82,6 miliar. Di saat yang sama, pendapatan usaha perseroan justru turun 6,47% menjadi Rp79,78 miliar.
Alhasil, laba kotor meningkat 187% menjadi Rp7,79 miliar, dari posisi yang sama tahun lalu Rp2,70 miliar. Perseroan juga tercatat mendapatkan untung dari kurs mata uang asing sebesar Rp728,34 juta, setelah sebelumnya tercatat rugi bersih Rp264,28 juta.
Dari laporan keuangan kuartal I/2013, perseroan memiliki kas dan setara kas Rp2,8 miliar, naik 176% dari posisi tahun lalu Rp1,01 miliar. Liabilitas perseroan tercatat Rp58,2 miliar, naik 13,91%. Sedangkan ekuitas perseroan naik 1,41% menjadi Rp352,40 miliar.



PT Lionmesh Prima Tbk (LMSH)

PT LIONMESH PRIMA Tbk semula bernama PT Lion Weldmesh Prima, didirikan pada 14 Desember 1982 di Jakarta yang bergerak dalam bidang industri jaring kawat baja las.
Perseroan mulai memproduksi jaring kawat baja las  sejak pertengahan tahun 1984 dengan merek LIONMESH yang diproduksi dalam berbagai ukuran dengan permukaan kawat polos dan ulir yang dikemas dalam bentuk lembaran atau gulungan.
Bahan baku yang digunakan perseroan adalah kawat baja berkualitas yang diproduksi oleh PT. Krakatau Steel yang kemudian melalui proses penarikan menjadi kawat baja dengan mutu U-50 bertegangan leleh karekteristik 5000 kg/cm2 yang sangat menguntungkan bila dibandingkan dengan baja tulangan biasa yang mempunyai tegangan leleh karekteristik 2400 kg/cm2. Proses pembuatannya dilakukan dengan menggunakan mesin buatan Swiss yang mutakhir.
Emiten yang dinakhodai oleh Tjoe Tjoe Peng "Lawer Supendi"  adalah perusahaan yang pertama kali memproduksi dan memasarkan jaring kawat baja las yang permukaan kawat bajanya dibentuk “ KARI “ yang bertujuan meningkatkan kekuatan ikat dengan beton.
Produk perseroan telah mendapatkan pengakuan Standar Industri Indonesia (SII), yang kemudian diubah menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan Sertifikat Penggunaan Tanda SNI No. 0593/Bd/SNI-AS/IV/1995 tanggal 12 April 1995.
Seiring dengan perkembangan industri konstruksi yang semakin maju, Lionmesh juga memproduksi wiremesh, pagar mesh, pintu mesh, dan kolom praktis yang kualitasnya tak diragukan lagi.
Perseroan memiliki pabrik di Jakarta seluas ± 5.700 m2 di atas areal seluas 9.500 m2 dan pabrik di Porong, Sidoarjo seluas ± 5.200 m2 di atas areal seluas 19.799 m2.
Emiten berkode saham LMSH itu menargetkan penjualan bersih pada tahun ini senilai Rp269,02 miliar atau naik 5% dari realisasi penjualan bersih tahun lalu senilai Rp256,21 miliar.
Mengutip materi paparan publik perseroan, Jumat (6/6), Lionmesh Prima membidik laba bersih tahun ini senilai Rp14,9 miliar atau tumbuh 3,62% dari laba bersih tahun lalu senilai Rp14,38 miliar.
Sepanjang kuartal I/2014, Lionmesh Prima telah meraup penjualan bersih senilai Rp58.7 miliar. Angka tersebut lebih kecil 5,12% dari penjualan bersih pada periode yang sama tahun lalu senilai Rp61,87 miliar.
Penurunan juga terjadi pada laba bersih perseroan. Pada kuartal I/2014 LMSH membukukan laba bersih senilai Rp2,73 miliar atau turun 8,69% dari laba bersih pada periode yang sama tahun lalu senilai Rp2,99 miliar.
Adapun liabilitas perseroan per 31 Maret 2014 senilai Rp33,83 miliar yang terdiri dari liabilitas jangka pendek senilai Rp30,12 miliar dan liabilitas jangka panjang Rp3,71 miliar.


PT Pelat Timah Nusantara Tbk (NIKL)

PT Pelat Timah Nusantara Tbk atau Latinusa merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang memproduksi tinplate berkualitas tinggi dengan standar internasional. PT Latinusa didirikan pada 19 Agustus 1982.
 Latinusa merupakan perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dengan PT Tambang Timah, PT Krakatau Steel dan PT Nusamba sebagai pemegang saham perdana. Saat ini pemegang saham perusahaan terdiri atas Nippon Steel & Sumitomo Metal Corporation (35%), Krakatau Steel (20.1%), Mitsui Co. (10%), Nippon Steel Trading (5%), Metal One (5%), PT Baruna Inti Lestari dan Publik (20%).  
Nippon Steel & Sumitomo Metal Corporation juga merupakan penyedia bahan baku utama kami, Tin Mill Black Plate (TMBP), sehingga ketersediaan bahan baku senantiasa terjamin.
Emiten berkode saham NIKL, yang dinakhodai oleh Ardhima T. Akanda itu mencetak rugi bersih US$265.000 sepanjang kuartal I tahun ini, padahal periode yang sama tahun lalu mampu meraih laba US$552.000.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan Selasa (29/4), hal tersebut terjadi seiring dengan kenaikan beban pokok pendapatan serta melonjaknya rugi selisih kurs.
Pendapatan perseroan naik 8,33% menjadi US$46,42 juta per Maret 2014 dari sebelumnya US$42,85 juta.
Namun, beban pokok pendapatan naik lebih besar yakni 10,22% menjadi US$42,72 juta dari US$38,76 juta. Akibatnya, laba kotor perusahaan yang lebih dikenal Latinusa itu turun 9,78% menjadi US$3,69 juta dari US$4,09 juta.
Beban operasional menyusut 12,86% menjadi US$2,71 juta dari US$3,11 juta. Dengan demikian, laba operasional turun 0,61% menjadi US$984.000 dari US$990.000.
Namun, rugi kurs perseroan naik tajam 268,44% menjadi US$1,04 juta pada 3 bulan pertama tahun ini dari sebelumnya US$282.000.


PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA)

PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) berdiri pada 18 Januari 1971 dengan nama PT Java Pelletizing Factory, Ltd.
Perseroan yang dipimpin oleh Handojo Santosa itu kini mengoperasikan 50 pusat pembibitan ayam yang tersebar di Palembang, Medan, Bali, dan beberapa di daerah Jawa.
Pada tahun ini, agar tak tertinggal dari pesaingnya, Japfa menyiapkan investasi sebesar Rp600 miliar untuk memperbesar 25%—30% kapasitas produksi anakan ayam usia sehari. Japfa akan berkonsentrasi meningkatkan produksi sebanyak 150 juta-170 juta ekor.
Dengan begitu, produksi DOC diharapkan mencapai 520 juta ekor guna memaksimalkan pasokan ke sejumlah sentra pasar. Setidaknya, ekspansi itu akan membantu meningkatkan pangsa pasar Japfa di industri ternak unggas.
Japfa merupakan perusahaan terbesar kedua di pasar DOC dan peternakan ayam broiler. Tahun lalu, Japfa menguasai 21% untuk pangsa pasar DOC.
Pada 2014, JPFA menargetkan penjualan secara keseluruhan meningkat sebesar 25% menjadi Rp26,76 miliar dari tahun sebelumnya senilai Rp21,41 miliar. Sektor peternakan atau poultry secara khusus ditargetkan meningkat sekitar 22-25% karena peningkatan harga jual pada tahun ini.
Sementara untuk kuartal I/2014, penjualan perseroan mengalami peningkatan sebesar 12,54% mejadi Rp5,67 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada periode yang sama senilai Rp4,96 triliun.
Adapun laba bersih mengalami penurunan 72,1% menjadi Rp53  miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada periode yang sama senilai Rp190 miliar.


PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN)

Pada kuartal I/2014, penjualan bersih  PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) yang berdiri pada 1997, tercatat Rp1,08 triliun atau meningkat 15% dari tahun sebelumnya pada periode yang sama senilai Rp941,86 miliar.
Adapun laba bersih turun sebesar 25,66% menjadi Rp58,21 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya senilai Rp78,32 miliar.
Sementara itu, penjualan pada sektor bisnis yang baru dijalaninya, yaitu makanan olahan senilai Rp9 miliar.
Penjualan bersih, emiten yang dipimpin oleh Lau Chia Nguang,  meningkat 15% pada kuartal I karena ada peningkatan penjualan di semua sektor bisnis yang dijalankan.
Sektor pakan ternak yang penjualannnya meningkat Rp96 miliar, menjadi kontribusi terbesar perseroan. Sementara itu, sektor lainnya seperti ayam pedaging meningkat Rp14 miliar dan anak ayam umur sehari (DOC) meningkat Rp11 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada periode yang sama.
Lebih jauh, pada tahun ini, kapasitas pabrik pakan ternak Malindo ditargetkan meningkat 1,4 juta metrik ton, mewakili  pertumbuhan 58% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebesar 900.000 metrik ton.
Segmen produksi anakan ayam usia sehari (day old chick/DOC) juga dikebut. Perseroan menargetkan kapasitas breeding farm DOC mencapai 191 juta ekor tahun ini. Untuk mencakup area yang lebih luas, Malindo juga memperluas peternakannya ke Makassar.
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2013, penjualan pakan masih menjadi sumber pendapatan terbesar dengan kontribusi senilai Rp2,97 triliun, disusul DOC sebesar Rp778 miliar, ayam pedaging Rp323 miliar, dan beberapa segmen produk lainnya seperti makanan olahan.
Total pendapatan Malindo sepanjang tahun lalu tercatat Rp4,19 triliun atau melesat 25,2% dari Rp3,35 triliun. Namun, laba bersihnya anjlok 20% dari Rp302 miliar menjadi Rp241 miliar akibat membengkaknya ongkos logistik dan kenaikan upah pekerja.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Gajah Kusumo
Editor : Setyardi Widodo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper