Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Manfaat Relaksasi GWM Averaging

Bank Indonesia kembali merelaksasi kebijakan penghitungan giro wajib minimum (GWM) averaging yang juga dikenal dengan GWM rata-rata. Rasio GWM rataan ditambah dari tadinya hanya 1,5% menjadi 2%.

Bisnis.com, JAKARTA-Bank Indonesia kembali merelaksasi kebijakan penghitungan giro wajib minimum (GWM) averaging yang juga dikenal dengan GWM rata-rata. Rasio GWM rataan ditambah dari tadinya hanya 1,5% menjadi 2%.

Namun, bagaimana sebenarnya manfaat perubahan aturan tersebut? Apakah tujuannya membuat bank lebih leluasa mengatur likuiditas dan menambah imbal hasil terealisasi?

Sekadar mengingatkan kembali, perubahan aturan dari GWM primer menjadi GWM rata-rata dilakukan BI mulai berlaku efektif sejak 1 Juli 2017 lalu.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No.19/6/PBI/2017 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional.

Perbedaannya yakni dalam perhitungan GWM primer, bank wajib memenuhi giro wajib minimum secara harian dengan jumlah 6,5% dari dana pihak ketiga (DPK) rupiah.

Sementara itu, dalam GWM averaging, penghitungannya terbagi dua. Pertama, GWM yang wajib dipenuhi secara harian berkurang menjadi 5% dari DPK. Kedua, GWM sebesar 1,5% dari jumlah rata-rata DPK rupiah selama dua pekan. 

Saat itu BI mendorong industri perbankan untuk mulai menerapkan GWM averaging. Harapannya, bank lebih fleksibel mengelola keuangannya sehingga menambah ruang untuk pendalaman pasar keuangan.

Akan tetapi, tak semua bank ternyata memanfaatkan sistem rerataan tersebut. Walau menyambut baik aturan baru itu, sejumlah bank tetap setia dengan pola pemenuhan GWM primer dengan menjaga GWM harian di level 6,5%.

Sebagai contoh, ada PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk yang merupakan bank dari kelompok BUKU III dan PT Bank Dinar Tbk dari kelompok bank BUKU I atau bermodal di bawah Rp1 triliun.   

Direktur Keuangan dan Treasuri Bank BTN Iman Nugroho Soeko beralasan pihaknya tak memanfaatan GWM averaging lantaran likuiditas perseroan acapkali tak berbeda jauh dengan pasar.

“GWM rata-rata memberikan fleksibilitas dalam menjaga GWM. Hanya saja untuk BTN, historisnya kalau likuiditas pasar ketat, likuiditas BTN juga ketat. Kalau market longgar, BTN juga longgar, jadi mengikuti pasar. Sehingga, untuk BTN ya sepanjang waktu kami usahakan GWM di 6,5%,” kata Iman kepada Bisnis, belum lama ini.

Sebagai gambaran, nominal nilai GWM BTN per akhir Desember 2017 mencapai Rp12,6 triliun. Jumlah tersebut cukup besar lantaran total DPK rupiah bank BTN mencapai Rp193 triliun.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Utama PT Bank Dinar Tbk. Hendra Lie mengatakan hal senada. Meski pelonggaran GWM averaging dipandang baik, pihaknya tak memanfaatkan relaksasi tersebut.

“Kalau untuk Bank Dinar rata-rata GWM tidak besar, sehingga kami langsung menjaga GWM primer di atas 6,5%. Kami jarang memanfaatkan averagingnya,” kata Hendra kepada Bisnis.

Hendra mengatakan, dari segi nominal, tambahan kelonggaran likuiditas yang didapat dari sistem rerataan 1,5% tidak terlalu signifikan untuk dimanfaatkan di pasar uang. “Persentase 1,5% itu tidak besar untuk nilainya. GWM prime kami sekitar Rp128 miliar,” tambahnya.

Secara industri, bisa dikatakan likuiditas perbankan memang tengah melimpah. Rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) perbankan juga cukup longgar, yakni di bawah 90% per November 2017.

Di tengah kondisi demikian, BI justu kembali melakukan reformasi GWM dengan cara menambah porsi perhitungan rerata untuk bank umum konvensional, yakni dari 1,5% menjadi 2%. Reformulasi tersebut direncanakan mulai berlaku pada 16 Juli 2018 mendatang.

Tak hanya itu, reformulasi GWM averaging juga diperluas untuk perhitungan DPK valas bank umum konvensional. Bila sebelumnya GWM valas harus dipenuhi secara tetap sebesar 8%, dalam perhitungan baru, GWM tetap menjadi sebesar 6% dan GWM averaging sebesar 2% dari DPK valas.

Adapun, untuk perbankan syariah, GWM tetap yang sebelumnya sebesar 5% direformulasi menjadi sebesar 3% berupa GWM tetap dan sebesar 2% dalam bentuk GWM rata-rata. Kedua perubahan yang baru ini akan berlaku mulai 1 Oktober 2018.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, jika melihat kondisi saat ini, pelonggaran likuiditas tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan bank.

Apalagi, dampak pelonggaran GWM yang dilakukan BI setengah tahun yang lalu juga tidak signifikan, terutama untuk mendorong pertumbuhan kredit. 

Bhima menilai likuiditas bank saat ini masih cukup sehat dengan LDR di bawah 90% dan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di angka 23%. Likuiditas bank juga ditunjang dengan DPK yang tumbuh 9,8% secara year on year per November 2017. 

Bertentangan dengan melimpahnya likuiditas tersebut, penyaluran kredit justru masih tersendat dengan realisasi hanya 7,5% (yoy) per November 2017. “Artinya bank menghadapi masalah struktural yang tidak bisa diselesaikan dengan utak atik kebijakan GWM,” katanya.

Ketika dikonfirmasi, Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Yoga Affandi membenarkan belum semua bank memanfaatkan relaksasi GWM averaging.

BI mencatat, bank yang mengikuti mekanisme GWM averaging sebanyak 49 bank umum konvensional. Namun, menurut Yoga, jumlah tersebut sudah terbilang besar.

“Kami melihatnya bukan “hanya 49”, tetapi “sudah 49” bank pemanfaat GWM averaging atau sekitar 48% dari 102 bank, jadi sudah cukup banyak bank dalam kurun waktu singkat sehingga kami mau dorong lagi,” kata Yoga di sela-sela kunjungan ke redaksi Bisnis Indonesia, Jumat (26/1/2018).

Terkait momentum relaksasi di tengah kondisi likuiditas yang masih cukup longgar, Yoga berpandangan keputusan reformulassi GWM averaging tidak hanya didasarkan pada kondisi dalam negeri.

Menurutnya, langkah itu sebagai antisipasi terhadap tekanan eksternal dari kenaikan Fed rate dan perebutan dana antara pemerintah dan perbankan yang membuat likuiditas berpotensi mengetat.

Apalagi peningkatan penerbitan surat utang baru oleh pemerintah pada tahun 2018, likuiditas pada paruh kedua tahun ini berpotensi berkurang. "Kami lakukan perbandingan dengan situasi di luar negeri juga. Likuiditas bank di Indonesia perlu dijaga agar tetap longgar," ungkapnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper