Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ketika 'Cahaya Asia' Kembali Menyala di Indonesia

Niat perusahaan keuangan asal Jepang untuk berekspansi ke Indonesia semakin serius. Bisnis mencatat, sejak awal tahun sudah ada tiga institusi asal Negara Sakura yang terang-terangan menyatakan minat untuk meningkatkan perannya, baik dalam bentuk akuisisi maupun penambahan modal.
Bendera Jepang/Istimewa
Bendera Jepang/Istimewa

Niat perusahaan keuangan asal Jepang untuk berekspansi ke Indonesia semakin serius. Bisnis mencatat, sejak awal tahun sudah ada tiga institusi asal Negara Sakura yang terang-terangan menyatakan minat untuk meningkatkan perannya, baik dalam bentuk akuisisi maupun penambahan modal.

Masing-masing adalah Resona Holdings Inc., The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd. (BTMU) dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation.

Akhir pekan lalu, dalam momen perayaan 60 tahun eksistensinya di Indonesia, PT Bank Resona Perdania mengumumkan rencana naik kelas. Anak usaha Resona Holdings ini ingin naik kelas dari Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) II menjadi BUKU III.

Presiden Direktur Bank Resona Perdania Atsushi Tahara berujar, pemegang saham perseroan berencana menambah modal agar segera naik menjadi BUKU III, dengan modal inti paling sedikit Rp5 triliun. Saat ini modal inti Bank Resona Perdania sebesar Rp2,5 triliun. Agar dapat masuk BUKU III, bank masih butuh tambahan modal Rp2,5 triliun lagi.

Alasan utama bank asal Negeri Sakura ini hendak naik kelas adalah karena ingin bersaing dengan bank-bank lain, khususnya sesama bank asing.

"Kami sadar untuk bisa bersaing di iklim bisnis Indonesia perlu skala bisnis yang besar," kata Atsushi.

Mayoritas saham Bank Resona Perdania dikuasai oleh Resona Holdings melalui Resona Bank sebesar 43,42%. Sisanya dimiliki oleh East Asia Indonesia Holdings Ltd. (30%), Vision Well Ltd. (19,92%), Jafco Co,Ltd.(5,08%) dan lainnya (1,58%).

Sepekan sebelum Bank Resona Perdania mengumumkan niat naik kelas, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN) menerima surat dari Jepang.

Pemegang saham pengendali perseroan yaitu Sumitomo Mitsui Banking Corporation memberitahu bahwa mereka ingin menggabungkan BTPN dengan anak usahanya yang lain yaitu PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI).

Sumitomo Mitsui menguasai 97,63% saham SMBCI. Sedangkan di BTPN, mereka memegang 40% porsi saham.

Agresivitas Sumitomo memang sudah terbaca sejak tahun lalu. Dikutip dari Reuters, pada 25 Desember 2017 CEO Sumitomo Mitsui Financial Group (SMFG) Takeshi Kunibe menyatakan minat mereka untuk menambah saham di BTPN.

"Kami ingin meningkatkan kepemilikan saham dan memegang saham mayoritas di masa depan," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Kepatuhan BTPN Anika Faisal mengatakan bahwa merger dengan SMBCI akan memperkuat posisi mereka di pasar domestik. Sebab, SMBCI selama ini kuat di segmen corporate banking, sedangkan BTPN telah lama menggeluti bisnis retail banking.

BTPN akan memulai assessment internal untuk menghitung valuasi bisnis terkait dengan rencana merger tersebut. Setelah merger, kepemilikan saham Sumitomo di entitas baru itu akan berubah.

"Apakah akan mencapai lebih dari 50%? Masih dihitung valuasinya," kata Anika.

Masih di bulan yang sama, The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd. (BTMU) memulai transaksi kepemilikan saham di PT Bank Danamon Indonesia Tbk.

BTMU membeli 1,9 miliar lembar saham bank berkode emiten BDMN itu dengan harga pembelian Rp8.323 per lembar saham atau senilai Rp15,87 triliun.

Chief Manager BTMU Hikaru Umehara mengungkapkan, usai transaksi tahap I tersebut artinya pihaknya memiliki 1,9 miliar lembar saham BDMN atau sebanyak 19,9%.

"Tujuan dari transaksi tersebut untuk investasi jangka panjang," terangnya melalui keterbukaan Bursa Efek Indonesia, Selasa (9/1).

Dengan adanya transaksi tersebut, Mitsubishi UFJ Financial Group Inc. (MUFG) akhirnya memiliki kepemilikan tidak langsung atas BDMN melalui The Bank Of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd.

Marsuki, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin mengatakan, meningkatnya animo perusahaan keuangan asal Jepang ke Indonesia cukup logis. Pasalnya, potensi pasar perbankan di Indonesia masih sangat besar.

Dalam perspektif makroekonomi, rasio kredit bank terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia atau Singapura.

"Baru dalam nilai 34%. Sedangkan Malaysia atau Singapura sudah di atas 100%. Artinya bahwa Indonesia masih sangat besar potensinya," katanya kepada Bisnis.

Menurutnya, dengan peluang sebesar 64% di pasar kredit perbankan nasional, artinya peran bank masih sangat terbatas. Apalagi prospek margin keuntungan di Indonesia sangat besar. Rata-rata net interest margin (NIM) bank di Indonesia sekitar 7%-8%.

"Sedangkan di Jepang hanya di bawah 1 % bahkan kadang kala 0%. Sehingga mereka akan cari pasar kredit yang besar dengan keutungan besar pula," imbuhnya.

Merger dan akuisisi menjadi program utama Otoritas Jasa Keuangan untuk memangkas jumlah bank. Semakin sedikit jumlah bank, dinilai kian efisien. Jadi wajar apabila Jepang cukup antusias membawa 'secercah cahaya' untuk ekspansi di industri perbankan Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper