Bisnis.com, JAKARTA — Sebagian besar bank papan atas mencatatkan penurunan return on equity (ROE) dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan adanya kelebihan modal yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk melakukan ekspansi.
Kondisi bank yang kelebihan modal menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (25/3/2019).
Berdasarkan data 10 bank dengan aset di atas Rp170 triliun yang dihimpun Bisnis, tingkat pengembalian ekuitas (ROE) sebagian besar bank pada 2018 cenderung lebih kecil dibandingkan dengan posisi pada 5 tahun silam.
Sebagai contoh, tren penurunan ROE tampak dari laporan bank dengan aset terbesar, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., yakni dari 31,19% pada 2014 menjadi 20,49% pada akhir tahun lalu.
Pada periode yang sama, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. juga mengalami penurunan ROE dari 25,81% menjadi 16,23%. Kondisi ROE bank swasta beraset terbesar di Indonesia, PT Bank Central Asia Tbk., juga turun dari 25,5% menjadi 18,8%.
Hal tersebut terjadi di tengah peningkatan rasio kecukupan modal perbankan (capital adequacy ratio/CAR).
Piter Abdullah, Direktur Riset Center of Reform on Economy, mengatakan penurunan ROE bank papan atas terjadi lantaran peningkatan modal bank yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan laba serta kurangnya optimalisasi permodalan.
“Kondisi ini menunjukkan dua hal, yakni bank makin aman dan cadangannya makin kuat. Di sisi lain, ada dana idle. Artinya bank kurang efisien,” kata Piter, akhir pekan lalu.
Menurutnya, peningkatan di sisi ekuitas tersebut dapat digunakan untuk memaksimalkan ekspansi bank. Apalagi, jika memiliki rasio CAR lebih dari 20%, bank seharusnya bisa lebih ekspansif.
“CAR sebenarnya minimum hanya 8% ditambah cadangan-cadangan sesuai basel II dan III. Menurut saya, bank sudah sangat aman dengan CAR 12%—15%. Kalau CAR di atas 20% sudah jelas ada dana yang idle,” paparnya.
Permasalahan bank besar di Indonesia, lanjutnya, adalah kurangnya dorongan untuk mengoptimalkan dana. Di sisi lain, permintaan kredit juga dinilai belum besar sehingga bank berhati-hati melakukan ekspansi.
Ekonom Institute for Develoment of Economics and Finance Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, upaya meningkatkan ROE di tengah ekonomi yang penuh risiko akan menjadi strategi yang kurang bijak.
“Dibandingkan dengan peers bank BUKU IV di negara Asean lainnya, ROE bank besar Indonesia sudah cukup baik. CIMB group holding misalnya ROE di kisaran 11,38% dan OCBC Singapore berada di 11,5% pada 2018,” tuturnya.
Terkait dengan optimalisasi modal, Di-rektur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Kartika Wirjoatmodjo menilai CAR perseroan—yang saat ini di atas 21%—sudah terlalu tinggi dan akan dijaga di level 16%—17% dalam jangka panjang.
Perseroan, lanjutnya, akan memakai kelebihan permodalan untuk ekspansi anorganik dengan akuisisi bank menengah yang dapat meningkatkan keuntungan.
“Jangka panjang target CAR sekitar 17%. Jadi, ada excess capital 3%—4% atau sekitar Rp30 triliun yang bisa dipakai untuk ekspansi anorganik,” tuturnya.
KREDIT MELAMBAT
Anggoro Eko Cahyo, Direktur Keuangan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., membenarkan bahwa ada penurunan ROE dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu terjadi karena penurunan penyaluran kredit akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, lanjutnya, ROE emiten berkode saham BBNI tersebut saat ini terbilang stabil. Oleh karena itu, sambungnya, manajemen tidak perlu membuat strategi yang terlampau ekspansif, tetapi berisiko merusak pertumbuhan pada tahun berikutnya.
Sebagai informasi, ROE BNI pada 2014 mencapai 23,16% dan turun secara gradual sampai mencapai 15,5% pada 2016. ROE perseroan kembali stabil pada 2017 dan meningkat pada 2018 menjadi 16,1%.
“Kalau bicara tentang investor, mereka pasti lebih senang perusahaan yang lebih predictable dan pertumbuhannya stabil. Kami lebih ingin menjaga momentum itu,” katanya kepada Bisnis, Rabu (20/1).
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja tak menampik adanya penurunan ROE. Namun, lanjutnya, perkembangan kinerja perseroan sejauh ini cukup positif dari berbagai indikator lain.
Jahja menegaskan, hal itu tidak membuat pemegang saham resah karena turunnya ROE lebih disebabkan oleh peningkatan modal yang kuat dalam beberapa tahun terakhir, yaitu dari Rp75,72 triliun pada 2014 menjadi Rp151,75 triliun pada 2018.
“Laba naik terus. ROE turun karena kenaikan ekuitas yang dipupuk makin besar. Jadi investor maklum sekali.”
Presiden Direktur PT Bank Pan Indonesia Tbk. Herwidyatmo juga mengakui perseroan masih belum mampu mengembalikan ROE pada posisi semula seperti raihan pada 2014 sebesar 13,09%.
Perseroan, lanjutnya, akan tetap fokus pada strategi yang sudah ditetapkan dengan membidik pertumbuhan kredit secara tahunan di kisaran 12%—15%.
“Pemegang saham pengendali Panin Bank juga sudah meminta tingkat ROE tertentu kepada manajemen di masa mendatang. Semua harus seimbang. Kinerja waktu lalu memang menjadi acuan untuk perbaikan ke depan,” katanya.