Bisnis.com, JAKARTA – Bank kecil tampaknya masih menghadapi tantangan berat mengawali paruh kedua tahun 2019, tercermin dari kredit yang bergerak tidak ekspansif dan diiringi dengan peningkatan kredit bermasalah.
Selama semester I/2019 saja, kinerja bank kecil tak begitu cemerlang, di mana rata-rata kredit bank kecil tercatat tumbuh di bawah rata-rata industri. Rasio kredit bermasalah pun menunjukkan tren peningkatan dari awal tahun.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) II dengan modal inti di bawah Rp5 triliun, mencatat rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di level 3,53 persen per Juni 2019. Meski lebih rendah dari bulan sebelumnya, angka ini meningkat dari Desember 2018 yang tercatat di level 3,18 persen.
Sementara itu, kredit BUKU II tercatat tumbuh 3,50 persen secara year-to-date (ytd) pada Juni 2019. Meskipun begitu, pertumbuhan ini terbilang cukup positif setelah mengalami tahun berat pada 2018, di mana pertumbuhan kredit BUKU II per Juni 2019 tercatat turun 2,70 persen ytd.
Di samping itu, BUKU I dengan modal inti di bawah Rp1 triliun, mencatat penyaluran kredit yang menurun signifikan. Kredit BUKU I tercatat turun 3,50 persen ytd per Juni 2019. Rasio NPL BUKU I tercatat di level 2,90 persen per Juni 2019.
Jika dibandingkan, rasio kredit bermasalah bank kecil tersebut tercatat lebih tinggi daripada rasio NPL bank besar. Per Juni 2019, rasio NPL BUKU III dan BUKU IV masing-masingnya tercatat di level 2,58 persen dan 2,19 persen.
Direktur PT Bank CTBC Indonesia Liliana Tanadi mengatakan penyaluran kredit perseroan hingga Agustus 2019 masih mengalami tekanan dan belum bergerak agresif.
Rasio NPL perseroan tercatat mengalami peningkatan karena penurunan laju kredit, namun perseroan mencatat tidak ada peningkatan kredit macet.
“Kondisi kredit masih mengalami tekanan sampai Agustus 2019. Loan masih turun, sehingga rasio NPL sedikit naik, tapi sebenarnya tidak ada peningkatan kredit macet,” katanya kepada Bisnis, Sabtu (22/9).
Liliani menjelaskan, penurunan pertumbuhan kredit dikontribusi oleh segmen korporasi, yang tidak memiliki ekspansi usaha yang signifikan hingga Agustus ini. Sedangkan perseroan menilai segmen komersial masih berisiko sehingga perseroan berhati-hati menyalurkan kredit di segmen tersebut.
Lebih lanjut, menurut Liliana, kenaikan rasio NPL perseroan dikontribusi oleh beberapa sektor, yakni tekstil dan plastik. Perseroan masih berupaya menekan rasio NPL, di antaranya dengan melakukan restrukturisasi kredit, penjualan aset collateral, dan mendorong pertumbuhan portofolio dengan kualitas kredit yang bagus.
Sebelumnya, perseroan menargetkan penyaluran kredit dapat tumbuh 13 persen hingga akhir tahun. Namun menurut Liliana, pertumbuhan sinle digit saja sudah terbilang cukup bagus di tengah kondisi tersebut. Perseroan juga akan menerapkan strategi yang pruden dalam menyalurkan kredit dan lebih selektif pada pengajuan kredit baru.
Hingga Juli 2019, perseroan mencatat debitur korporasi masih berkontribusi besar terhadap total portofolio kredit perseroan. Jumlah porsi kredit korporasi tercatat sebesar 80 persen dari total kredit.
Dikutip melalui laporan publikasi, kredit yang disalurkan perseroan tercatat sebesar Rp10,15 triliun atau turun 3,5 persen menutup paruh pertama semester I/2019.
Chief Financial Officer Bank Sahabat Sampoerna Henky Suryaputra mengatakan secara tahunan jumlah kredit yang disalurkan Bank Sampoerna per Agustus 2019 masih meningkat lebih dari 15 persen.
Penyaluran kredit ini sejalan dengan target penyaluran pinjaman hingga akhir 2019 yang perseroan estimasikan meningkat dua digit dibandingkan dengan kondisi setahun sebelumnya.
“Kami tentunya mengharapkan pertumbuhan kredit yang berkualitas. Kami melakukan penyaluran pinjaman secara selektif dan terus menjaga hubungan baik dengan nasabah,” katanya kepada Bisnis, Minggu (22/9).
Namun, menurutnya, saat ini kami memang mengalami peningkatan dalam hal rasio NPL, termasuk NPL untuk segmen UMKM.
Meskid demikian kenaikan yang terkait dengan kondisi ekonomi global maupun nasional yang penuh dengan ketidakpastian ini, sedikit banyak telah perseroan antisipasi sebelumnya.
“Dengan demikian NPL tetap terkelola dengan baik dan kami ekspektasikan akan menurun hingga akhir tahun. Tingkat NPL pada akhir tahun tidak akan jauh berbeda dengan tingkat NPL pada akhir tahun lalu,” ujarnya.
Direktur Funding, SME, FI dan Jaringan Kantor Bank Sampoerna Ong Tek Tjan sebelumnya pun optimistis akhir tahun ini hingga tahun depan NPL berangsur-angsur akan membaik.
SEKTOR MIKRO
Menurutnya, paling mengkhawatirkan yakni sektor mikro di daerah yang terdampak akibat perlambatan batu bara dan sawit. Sementara saat ini NPL sektor mikro masih tercatat di bawah 4 persen dan UKM di bawah 3 persen.
“Kami kira masih sehat NPL mikro mengingat batas toleransi di level 5 persen,” katanya.
Tim Analis PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk. Rully Nova menilai peningkatan NPL secara industri dipengaruhi oleh pertumbuhan industri terutama manufaktur yang terus menurun akibat ekspor turun.
Kondisi Bank Woori sendiri, lanjutnya, per Agustus 2019 masih mencatatkan kredit bertumbuh seiring dengan garis yang ditetapkan perseroan, bahkan dengan optimisme akan lebih dari 12 persen sampai akhir tahun.
“NPL kami masih belum membaik di kisaran 1,8 persen tetapi dengan usaha-usaha collection & restrukturisasi sampai dengan akhir tahun NPL akan membaik di kisaran level 1,6 persen,” ujarnya.
Adapun sektor konsumer dan korporasi tercatat menjadi penyumbang NPL terbesar perseroan. Alhasil, usaha-usaha yang dilakukan ke depan seperti menggencarkan collection, restrukturisasi kredit, pemantauan usaha debitur dengan kunjungan, serta pemilihan sektor ekonomi secara lebih selektif lagi.
HARGA KOMODITAS
Direktur Riset Centre of Economic Reform (CORE) Piter Abdullah mengutarakan, BUKU I dan II memang tengah dalam posisi yang sulit. Kondisi likuiditas yang ketat menyebabkan bank tersebut sulit untuk dapat menyalurkan kredit.
“Di sisi lain kondisi ekonomi global dan juga domestik yang melambat membuat kualitas menjadi menurun. Jadi bank BUKU I dan II menurut saya seperti sudah jatuh tertimpa tangga,” katanya kepada Bisnis, Minggu (22/9).
Selain itu, peningkatan NPL pada bank kecil juga dipengaruhi oleh perekonomian global di mana harga dan permintaan barang-barang komoditas mengalami pelemahan.
Akibatnya, beberapa sektor yang terkait langsung dengan sektor komoditas mengalami tekanan dan bahkan mempengaruhi kelancaran kredit, sehingga bank pun dinilai harus benar-benar berhati-hati menyalurkan kredit.
“Hanya mereka yang benar mengambil langkah yang sangat hati-hati yang bisa selamat melewati masa sulit sekarang ini,” tutur Piter.
Piter memproyeksikan, kondisi likuiditas bank kecil akan sedikit membaik ke depannya, setidaknya di tahun 2020 seiring dengan arah kebijakan Bank Indonesia yang lebih longgar mengikuti kebijakan bank sentral global.
Namun demikian, imbuh Piter, perlambatan ekonomi global membuat perekonomian nasional tetap penuh risiko sehingga recovery pertumbuhan kredit menjadi tidak mudah.
“Kelonggaran likuiditas justru menjadi tantangan karena harus diimbangi dengan penyaluran kredit yang sangat hati-hati. Tapi, setidaknya tekanan bank kecil ditahun 2020 menurut saya menjadi sedikit lebih ringan,” katanya.