Bisnis.com, JAKARTA - Restrukturisasi masih menjadi opsi utama perbankan dalam mengatasi kredit bermasalah lantaran kondisi perekonomian nasional dianggap belum membaik. Kondisi ini mengakibatkan perlambatan pertumbuhan kredit hingga ancaman likuiditas terhadap penempatan dana korporasi di bank.
Salah satu akibat kondisi perekonomian saat ini terlihat dari banyaknya perusahaan tambang yang berurusan dengan pengadilan karena masalah utang piutang. Tak hanya itu, perkara yang dialami anak usaha Duniatex Group, membuat perusahaan tekstil ini menghadapi gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan meminta restrukturisasi dari kreditur sejak beberapa bulan lalu.
Potensi naiknya permintaan restrukturisasi kredit ditanggapi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Menurut Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo, tak tertutup kemungkinan perseroan akan gencar melakukan restrukturisasi jika kondisi memaksa.
“Kalau memang arahnya seperti yang ada ya kami akan restrukturisasi,” ujar Haru di Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasian interim, hingga akhir semester I/2019 nilai kredit yang sudah direstrukturisasi BRI naik 21,03 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp52,93 triliun. Namun, Haru menyebut nilai kredit yang direstrukturisasi relatif stabil per Agustus 2019.
“Sampai Agustus 2019 kredit restrukturisasi BRI sebesar Rp52 triliun atau sekitar 6 persen dari total kredit bank. Angka ini relatif stabil dibandingkan periode sama tahun lalu,” ujarnya.
Tanggapan lain diberikan PT Bank OCBC NISP Tbk. Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja mengatakan, pelaksanaan restrukturisasi masih akan berlanjut melihat kondisi perekonomian yang belum kondusif hingga kuartal III/2019.
Berdasarkan laporan keuangan OCBC NISP, hingga akhir semester I/2019 pembiayaan yang telah direstrukturisasi mencapai Rp2,28 triliun. Nilai ini menurun 31,73 persen secara tahunan dibanding restrukturisasi semester I/2018 senilai Rp3,34 triliun.
“Risiko kredit masih menjadi fokus perbankan saat ini, dimana restructuring menjadi salah satu opsi. Kedepan kelihatannya hal ini masih akan berlanjut karena kondisi makro yang belum kondusif,” ujar Parwati kepada Bisnis, Selasa (1/10/2019).
Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. mengaku sudah memiliki langkah guna meminimalisir dampak perlambatan ekonomi global terhadap debitur khususnya di sektor pertambangan. Bank memitigasi risiko sejak dini melalui loan exposure limit atau pembatasan penyaluran kredit.
Menurut SEVP Remedial and Recovery BNI A. A. G. Agung Dharmawan, pada tahap paling dini bank melakukan upaya restrukturisasi kredit agar menjaga status kolektibilitas tetap lancar. Pada tahap selanjutnya, bila proses sebelumnya tidak optimal, bank melakukan program recovery atau jual jaminan dalam upaya mengoptimalkan tingkat pengembalian atas kreditnya (recovery rate).
Sepanjang tahun ini, hingga kuartal ketiga tren tingkat pengembangan dari debitur komoditas berlangsung baik dan optimal. “Hal ini karena debitur kami terbilan kooperatif dan mendukung,” kata Agung kepada Bisnis.
Tanggapan lain disampaikan Bank MUFG. Managing Director, Head of Global Corporate & Institutional Banking MUFG for Indonesia Pancaran Affendi menuturkan, perusahaannya telah menerapkan strategi selektif dalam menyalurkan kredit kepada debitur baru maupun debitur eksisting.
MUFG juga telah mendapat anjuran langsung untuk menjaga kualitas kredit khususnya ke perusahaan di sektor pertambangan. "Kredit kami akan tetap baik. restrukturisasi kami masih akan tetap rendah dan stabil, seperti tahun lalu," katanya kepada Bisnis.
Berdasarkan laporan tahunan, total kredit yang telah direstrukturisasi MUFG tahun lalu Rp 5,18 miliar. Nilai ini bahkan turun dari 2017 yang mencapai Rp5,62 miliar. Padahal, penyaluran kredit tumbuh pada 2018 tumbuh 10,9%.