Bisnis.com, JAKARTA – Perlambatan uang beredar dalam arti luas (M2) pada September 2019 yang hanya 7,1% (yoy), dibandingkan dengan bulan sebelumnya 7,3% (yoy) dinilai belum menandakan keterbatasan likuiditas saat ini.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, perlambatan ini terjadi pada uang kuasi, dan surat berharga selain saham. BI memerinci, bahwa uang kuasi memiliki pangsa terhadap M2 sebesar 74,4%, dengan nilai Rp4.468,8 triliun.
Angka ini melambat menjadi 7,0% (yoy), padahal Agustus 2019 masih tercatat 7,4% (yoy). BI menyatakan, perlambatan ini dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan simpanan berjangka dan giro valuta asing (valas).
Masih dari laporan yang sama, Bisnis .commencatat, surat berharga selain saham juga melambat 45,4% (yoy) menjadi 39,1% (yoy) pada September ini. Hal ini disebabkan oleh perlambatan kewajiban akseptasi perbankan kepada korporasi non bank dalam rupiah.
Menurut ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana menyatakan, perlambatan saat ini sebenarnya terlihat karena penghimpunan dana perbankan lebih banyak dari surat berharga dibandingkan Dana Pihak Ketiga (DPK). Meski demikian, Fikri menilai pergeseran itu bukan tanda yang menyatakan likuiditas sepenuhnya sedang seret.
“Ini bukan hanya ke pasar saham, tetapi juga ke pasar utang dan berbagai instrumen keuangan lain,” ujar Fikri kepada Bisnis.com, Kamis (31/10/2019).
Hal ini terlebih pertumbuhan uang beredar pada Agustus posisi M2 tercatat Rp5.933,0 triliun. Dalam laporan yang sama, BI juga mencatat, uang beredar dalam arti sempit (M1), September memang meningkat 6,9% (yoy) dari sebelumnya 6,6% (yoy) pada Agustus. Faktor pendorong peningkatan adalah giro rupiah sebesar 9,0% (yoy), dari bulan sebelumnya 7,1% (yoy).
Fikri menilai, yang perlu dilihat dari peredaran uang saat ini adalah perubahan gaya konsumsi masyarakat. Dia berpendapat, masyarakat khususnya di kota-kota besar tak lagi mengandalkan instrument pembiayaan dari uang kuasi. Masyarakat juga mulai beralih pada instrumen pembiayaan baru dan juga instrumen investasi baru berbasis elektronik.
“Hal-hal ini yang belum tercatat banyak dalam M2. Investasi juga sudah berubah dari deposito dan saham ke bentuk P2P lending, atau derivatif lain yang belum tercatat pada M2,” sambung Fikri.
Dia melihat jika visi pendalaman pasar keuangan sukses diselenggarakan Bank Indonesia, ke depan likuiditas akan lebih cair dan membawa tantangan baru. Salah satunya adalah meningkatkan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang sekarang juga masih dalam kisaran 40% dari PDB.
“Tak heran jika national saving kita masih rendah, sehingga investment saving-gap dari sisi domestik masih lebar. Sehingga dorongan terhadap sektor-sektor investasi dan konsumsi masih lemah,” tuturnya.
Dia menilai hal itu menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat pada pasar keuangan, dan rendahnya kepercayaan masyarakat pada instrumen keuangan. Oleh sebab itu, perlu kesadaran peningkatan kesadaran masyarakat mendorong pasar keuangan agar berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
“Walau dikompensasi dengan masuk investasi asing namun hal itu menurunkan level optimal, relatif bisa didorong dari dalam negeri, maka pertumbuhan ekonomi kita terbatas dan bisa terjebak middle income trap,” jelasnya.