Bisnis.com, JAKARTA - Rasio kredit bermasalah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. mengalami peningkatan pada akhir tahun lalu.
Per 31 Desember 2019, perseroan mencatatkan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) gross sebesar 4,78 persen, naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 2,81 persen.
Sementara itu, rasio NPL nett sebesar 2,96 persen, naik 113 basis poin dari 1,83 persen.
Direktur Keuangan BTN Nixon Napitupulu mengatakan kenaikan rasio NPL perseroan tersebut disebabkan oleh penurunan kolektibilitas kredit dan kebijakan BTN untuk tidak melakukan restrukturisasi ulang bagi debitur yang sudah dua kali diberikan keringanan.
"Untuk NPL pada akhir tahun banyak downgrade, paling banyak di [segmen] komersial, ada Rp3,5 triliun sepanjang 2019," ujarnya di Jakarta, Minggu (16/2/2020).
Penyebab penurunan kolektibilitas kredit itu dijelaskan Nixon karena pihaknya enggan melakukan kembali restrukturisasi ulang bagi debitur yang telah dua kali diberikan kesempatan ini. Menurutnya, kebijakan ini juga disebabkan karena perseroan melihat bisnis apartemen, hotel, dan office building masih berat.
Baca Juga
Untuk sektor apartemen misalnya, dia menyebutkan prospek penjualan masih mengalami perlambatan, terlebih untuk apartemen mewah. Tidak hanya apartemen, pengembang rumah tapak di Kalimantan juga mengalami masa berat karena daya beli masyarakat turun akibat penurunan harga komoditas.
"[Debitur] sudah direstrukturisasi, kasih perpanjangan waktu satu sampai dua tahun masih berat juga, jadi downgrade saja. Dua sikap ini yang bikin NPL nett 2,9 persen, masih jauh dari ketentuan," jelasnya.
Adapun, untuk memperbaiki kualitas kredit, emiten dengan kode saham BBTN ini menyiapkan berbagai aksi strategis, yaitu perbaikan proses inisiasi kredit, memperkuat collection management system, hingga mempercepat penjualan aset NPL.
Bank BTN juga akan membentuk unit kerja baru untuk mempercepat penyelesaian kredit macet. Perseroan pun bakal memperbaiki proses bisnis restrukturisasi kredit.