Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso mengatakan perlu ada solusi atas kondisi likuditas perbankan menyusul pemberlakuan kebijakan relaksasi berupa penundaan pembayaran pokok dan atau bunga.
Menurutnya, OJK akan terus menjaga kepercayaan masyarakat apabila likuiditas perbankan mengalami masalah. Salah satu upaya yang dilakukan yakni mengusulkan penjaminan untuk memberikan kepercyaan masyarakat atas dana yang mereka tempatkan di bank.
“Yang kita lakukan ini betul-betul prediksi, paling tidak pada saat ini dalam waktu beberapa bulan ke depan ada penundaan pembayaran pokok dan atau bunga, paling tidak likuditas perlu solusi,” kata Wimboh, Rabu (1/4/2020).
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan nilai penjaminan simpanan dapat dinaikkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Seperti yang pernah terjadi pada 2008 lalu, dengan menaikkan penjaminan yang semula hanya untuk simpnanan Rp100 juta menjadi Rp2 miliar ke bawah per rekening per bank.
Menurutnya, masih ada opsi lain yang bisa idterapkan yakni perluas jenis penjaminan simpanan. Misalnya dengan memberikan penjaminan pada dana pensiun, dana haji, maupun dana milik invidual yang dikelola bersama lainnya.
Baca Juga
“Apabila dibutuhkan kita bisa naikkan [nilai penjaminan simpanan]. Kita bisa perluas jenis simpanan ini tidak perlu dari Perppu tetapi bisa lewat PP. Selanjutnya kalau ada kondisi makin buruk, LPS usul ke pemerintah untuk lakukan langkah drastis,” sebutnya.
Adapun dalam kesempatan sebelumnya, kebijakan keringanan kredit yang dirilis pemerintah dinilai akan memberatkan kondisi likuiditas bank, khususnya bank beraset kecil dan bank perkreditan rakyat (BPR).
Perhimpunan bank perkreditan rakyat Indonesia (Perbarindo) sempat menyampaikan surat permohonan relaksasi ketentuan dan peraturan BPR. Perbarindo menilai kebijakan OJK mengenai relaksasi kredit akan menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda.
Hal ini kemudian akan berdampak pada risiko likuiditas berupa BPRS yang kesulitan cashflow, terkena masalah likuiditas karena tidak ada angsuran yang masuk dan nasabah penyimpan akan cenderung mengambil dananya.
Dari risiko kredit, berpotensi terjadi moral hazzard untuk tidak membayar angsuran dan industri BPR-BPRS berpotensi tidak mampu melakukan penyisihan dan pencadangan risiko kredit sesuai dengan ketentuan regulasi.