Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan mendorong agar proses restrukturisasi kredit bermasalah dilakukan antarbank sehingga menghindari pemerintah terjun langsung mengambil alih aset bank yang bermasalah.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan pemerintah tidak punya keahlian dalam menangani aset kredit bermasalah sehingga akan sulit melakukan penagihan kembali.
“Pemerintah coba kita hindari langsung ambil alih kredit-kredit [bermasalah] itu seperti BPPN [Badan Penyehatan Perbankan Nasional] dulu. Kita hindari itu. Karena pemerintah tidak punya expertise melakukan due diligence kepada bisnis-bisnis itu. Di samping itu, jumlahnya pasti akan besar,” kata Wimboh, Kamis (16/4/2020) malam.
Wimboh menjelaskan, dalam melakukan restrukturisasi kredit bermasalah, OJK akan mengoptimalkan perbankan. Bank, khususnya bank besar dan bank pelat merah, akan dijadikan sebagai hub oleh pemerintah dalam penyaluran likuiditas untuk membantu bank maupun lembaga keuangan nonbank yang bermasalah di tengah penyebaran pandemi Covid-19.
Skenarionya, kata Wimboh, yakni melakukan business as usual, di mana bank dapat menggunakan underlying asset untuk meminjam ke bank lain atau Bank Indonesia. Selain itu, pemerintah juga dapat menempatkan dana di beberapa bank seperti pada 2008 untuk mendukung likuiditas bank.
Lantas, kalau sampai ada bank atau lembaga keuangan yang sudah tidak bisa lagi dapat pinjaman perbankan, OJK akan memanggil pemilik dan meminta untuk setor modal. Skema lainnya yakni dengan mendorong bank menjual aset kreditnya kepada bank lain.
Baca Juga
“Di sinilah bank harus memasukkan kredit yang dibeli dari bank lain dalam skema collection atau restrukturisasi. Jadi dibereskan di asset management unit. Sehingga konsekuensinya bank dijadikan hub sebagai pemerintah menyalurkan dana dan pemerintah akan punya unit restructuring yang cukup besar. Itu skenarionya. Sebab jika pemerintah langsung beli, akan sulit memverifikasi, mengelola dan menagihnya,” tutur Wimboh.
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam
Akan halnya realisasi proses restrukturisasi pinjaman di bank dan lembaga pembiayaan yang masih mengalami banyak kendala dan dikeluhkan masyarakat, Wimboh mengakui masih ada sejumlah distorsi. Dia juga menyebutkan bahwa lembaga keuangan saat ini belum siap dengan penanganan restrukturisasi massal.
“Justru ini kita pasang mata dan telinga dan kumpulkan sebanyak-banyaknya. Dan semua distorisi itu kita tackle. Inilah yang tiap hari kami lakukan bersama industri jasa keuangan karena tidak akan ada yang smooth, sedikit-sedikit sih yang menyimpang, pasti ada.”
Pada krisis 1998 pemerintah melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) melakukan restrukturisasi perbankan. BLBI adalah skema bantuan yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia.
Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh 48 bank menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp138 triliun.
Dana BLBI banyak yang diselewengkan oleh penerimanya. Proses penyalurannya pun banyak yang melalui penyimpangan. Beberapa mantan direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.