Bisnis.com, JAKARTA - Tekanan ekonomi dari epidemi COVID-19 semakin membuat pelaku industri perbankan kesulitan untuk melaksanakan kewajiban pemisahan unit usaha syariah.
Virus corona membuat pendapatan menjadi tertekan sehingga membuat pemupukan modal guna melancarkan aksi korporasi ini pun menjadi terhambat.
Direktur Pendidikan dan Penelitian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Sutan Emir Hidayat mengatakan pihaknya telah menampung banyak masukan dari perbankan terkait dampak epidemi virus corona terhadap rencana pemisahan ini.
“Akhirnya menjadi sulit. Karena bagaimana pun aksi korporasi ini membutuhkan modal yang cukup besar,” katanya kepada Bisnis, Minggu (19/4/2020).
Dari sisi pendapatan, dia menyebutkan bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah saat ini tengah berhadapan dengan permintaan kredit yang semakin melemah.
Bahkan, jika epidemi virus corona semakin membuat pelemahan makin berat, maka bukan tidak mungkin rasio nonperforming loan membuat modal semakin tergerus.
Baca Juga
Di luar itu, unit usaha syariah yang mengikuti Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71, yang mengharuskan pencadangan mereka di atas 100%.
“Meski otoritas jasa keuangan memberi berbagai kemudahan, tetapi setiap risiko tersebut sangat membuat pemupukan modal menjadi lebih berat,” ujarnya.
Dia mengatakan KNEKS saat ini tengah berupaya untuk tetap berkomunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan guna mendapat relaksasi aturan berupa penundaan atau bahkan pembatalan. Sesuai ketentuan yang berlaku, spin off unit usaha syariah wajib dilakukan maksimal 15 tahun sejak diterbitkannya UU nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah atau paling lama pada 2023.
“Kalau keputusannya nanti, tentu adalah keputusan OJK. Namun, kami akan terus berkomunikasi demi mendapat keputusan yang baik untuk perkembangan industri syariah, termasuk perbankan,” katanya.
Senada, pimpinan proyek pemisahan di Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Hanawijaya menyebutkan epidemi virus corona cukup membuat upaya pemisahan ini menjadi sulit.
Namun, dia mengatakan proyek pemisahan sekaligus penggabungan seluruh UUS milik bank daerah masih berjalan sesuai rencana. “Bagaimana pun, kami tetap optimistis. Epidemi ini memang membuat banyak operasional menjadi terhambat. Namun kami akan tetap mengupayakan seluruh bank daerah tetap dipisah dan dikosolidasikan menjadi satu bank umum syariah,” katanya.
Dia menjelaskan jika upaya ini berhasil dilakukan, maka isu terkait dengan beban dari penyuntikan modal tambahan menjadi tidak relevan. Pasalnya, 14 bank daerah yang nantinya digabung menjadi satu memiliki aset sekitar Rp60 triliun dan modal Rp6 triliun.
“Makanya kami terus mencoba untuk mendekati wakil presiden agar mendapat endorser. Kalau sudah dapat itu, maka otomatis setiap kepala daerah akan menyusun rencana kerjanya. Kami berharapnya ada aturan top down untuk spin off dan penggabungan ini,” katanya.
Di luar itu, Hanawijaya juga berharap OJK juga dapat menggunakan kewenangannya untuk dapat mendorong pemisahan sekaligus penggabungan UUS bank daerah dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kewajiban Keuangan Negara dan Sistem Stabilitas Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Sesuai Perppu itu, dia menilai OJK memiliki kemampuan untuk melakukan langkah afirmatif yakni berupa pemaksaan penggabungan terhadap bank-bank sekaligus unit usaha yang dinilai tidak efisien. “Ini bisa menghilangkan ego sektoral yang ada di banyak bank daerah,” imbuhnya
Adapun, dalam pasal 23 ayat 1 A, disebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan diberikan kewenangan untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi industri jasa keuangan.
Bahkan ada sanksi yang cukup tegas bagi setiap individu atau korporasi yang dengan sengaja mengabaikan, tidakmemenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan otoritas tersebut.
Terpisah, Direktur Syariah Banking PT Bank CIMB Niaga Tbk. Pandji P. Djajanegara mengatakan epidemi ini telah membuat banyak debitur dan nasabah pembiayaan dalam kondisi yang sulit. Induk sekaligus UUS CIMB Niaga pun mencoba memberikan insentif seperlunya berupa restrukturisasi yang membuat pendapatan bunga dan penyaluran pembiayaan tertekan.
“Secara umum pasti akan memberatkan. Namun, harus melihat kemampuan permodalan masing-masing banknya,” katanya.
Namun, dia menyebutkan perseroan masih tengah mengupayakan persiapan untuk proses pemisahan ini. Meski banyak dukungan dari beberapa pihak untuk penundaan spin off, tetapi masih belum ada perubahan aturan mengenai kebijakan spin off baku yang dikeluarkan otoritas pengawas.
“Untuk CIMB Niaga Syariahnya sendiri, tingkat permodalan hampir mencapai mininum permodalan bank BUKU III. Jadi sampai saat ini belum ada kendala kalau kita mau menjadi bank BUKU III paling tidak dari sisi permodalannya,” tutur Pandji.
Sementara itu, Direktur Shariah Banking PT Bank Permata Tbk. Herwin Bustaman mengatakan perseroan juga masih tetap dengan acuan peraturan spin off selama masih belum ada perubahan.
“Kami akan terus pantau arahan dari OJK, dan tentu saja dari pemegang saham baru,” ujarnya.
Namun, perseroan pun mendukung jika ada upaya untuk memberi relaksasi dalam aturan spin off.