Bisnis.com, JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar perdana dan quantitative easing (QE) yang dilakukan BI tidak akan mempengaruhi inflasi dan nilai tukar rupiah.
Perry menjelaskan pembelian SBN oleh BI sebagai the last resort ketika pasar tidak mampu menyerap, merupakan uang primer (M0), bukan langsung disalurkan ke sektor riil dalam bentuk uang beredar (M2), sehingga tidak akan berdampak ke inflasi.
"Lag efeknya panjang, jadi jangan pikir kalau BI beli SBN dan QE inflasi akan melonjak, itu masih M0 uang primer, dari uang primer baru ke uang beredar M1, lalu ke M2, baru ke permintaan agregat, baru berdampak ke inflasi. Rentetannya panjang," katanya Rabu (29/4/2020).
Perry mengatakan pembelian SBN BI juga terbatas, maksimum 25 persen. Misalnya penerbitan SBN Rp400-an triliun, maka maksimum yang bia dibeli BI sekitar Rp100 triliun.
Menurutnya, saat ini pasar masih meminta yield yang tinggi karena masih lerarning, namun pada kuartal II/2020 atau kuartal III/2020 diyakini SBN akan lebih banyak diserap pasar. Perry memperkirakan pebelian SBN oleh BI pun akan jauh menurun, menjadi sekitar Rp50 triliun.
"Insyaallah jumlahnya tidak besar, lag efeknya panjang, perkiraan kami tidak akan berdampak banyak ke inflasi. Kami belum melihat ada tekanan inflasi tahun depan, tentu saja BI setiap bulan akan memantau," katanya.
Baca Juga
Sementara, lanjut Perry, nilai tukar rupiah secara fundamental dipengaruhi oleh inflasi dalam dan luar negeri, defisit transaksi berjalan, capital inflow dan outflow, serta perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri.
Dia menjelaskan, tahun ini inflasi diperkirakan rendah, defisit transaksi berjalan juga rendah, yang awalnya diperkirakan 2,5 persen-3 persen PDB, realisasi pada kuartal I/2020 lebih rendah dari 1,5 persen.
"Perbedaan suku bunga, Fed Fund Rate turun 100 bps, BI turunkan 50 bps, berarti interest rate differential lebih menarik, yield SBN 8 persen, inflow akan tinggi, jadi rupiah malah akan menguat," jelas Perry.