Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Risiko Bantuan Likuiditas Lanjutan Pemerintah

Upaya ini juga perlu ditelisik lebih lanjut karena mekanismenya terlalu sederhana, lantaran pemerintah tidak memiliki basis data yang cukup untuk dapat menilai kebutuhan riil likuditas bank.
Karyawan menata uang rupiah di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Rabu (10/7/2019). Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan menata uang rupiah di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Rabu (10/7/2019). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Langkah agresif dalam membantu likuiditas industri keuangan masih terus diupayakan oleh pemerintah. Meski demikian, risiko yang terkandung dalam langkah agresif ini tetap perlu menjadi perhitungan.

Sebagai informasi, pemerintah telah mengeluarkan banyak insentif guna membantu likuiditas perbankan yang aktif melakukan restrukturisasi di masa pandemi virus corona tahun ini.

Teranyar, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/PMK.05/2020 Tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Dari regulasi tersebut, otoritas fiskal dapat menempatkan uangnya di bank umum, yang nantinya disebut sebagai bank mitra. Sebanyak Rp30 triliun dana pemerintah yang sebelumnya ditempatkan di Bank Indonesia, akan ditempatkan di bank umum milik negara.

Dana itu ditempatkan dalam bentuk deposito dengan suku bunga 80 persen dari suku bunga acuan Bank Indonesia. Saat ini bank sentral mematok BI 7-days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) sebesar 4,25 persen.

Jika ditelisik lebih dalam, ekstensifikasi kebijakan fiskal ini hampir serupa dengan upaya perluasan tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diharapkan dapat menjadi resolusi bagi bank murni, tidak lagi hanya bank gagal.

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menilai semangat pemerintah dalam membantu bank-bank yang membutuhkan likuiditas perlu diapresiasi.

Namun, upaya ini juga perlu ditelisik lebih lanjut karena mekanismenya terlalu sederhana, lantaran pemerintah tidak memiliki basis data yang cukup untuk dapat menilai kebutuhan riil likuditas bank.

Di samping itu, pengalaman pemerintah dalam menangani permasalahan perbankan dinilai tidak terlalu banyak sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan moral hazard pelaku industri perbankan.

“Pemerintah mungkin memiliki niat baik. Namun, menurut saya banyak hal yang harus menjadi perhatian dalam aturan baru ini. Harusnya ada tambahan yang melibatkan peran OJK,” katanya, Rabu (24/6/2020).

Di luar itu, Amin menuturkan pemerintah jangan sampai menanggung risiko besar dalam tambahan tugas ini. Apalagi, kebutuhan belanja pemerintah dalam menangani pandemi sangat besar dan tak seharusnya menurun akibat salah penempatan dana di bank mitra.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah pun menilai langkah pemerintah terlalu gegabah. Penjaminan likuiditas harusnya menjadi beban BI dengan segala instrumen yang dimilikinya.

“Justru kalau mengambil peran terlalu besar seperti ini, pemerintah dapat dirugikan. Meski Bank Indonesia itu independen, tetapi bukan berarti dia lepas dari tanggung jawabnya. Pemerintah harusnya lebih mendorong otoritas moneter untuk menjamin likuiditas bank,” katanya.

Piter pun berharap rancangan perluasan tugas LPS sebagai resolusi bank murni tidak dilanjutkan. Pasalnya, meski terlihat besar, dana LPS yang dikelola saat ini digunakan untuk menjamin dana masyarakat yang nilainya lebih dari Rp6.000 triliun.

Lagi pula, dia menilai insentif likuiditas melalui bank mitra pun akan sangat terbatas. Dalam masa pandemi, pemerintah akan memiliki sedikit dana lebih yang mampu ditempatkannya pada bank.

“Meski ada payung hukumnya, Bendahara Umum Negara pun akan tetap memilih bank dengan kondisi yang sangat baik agar penempatannya tidak mengganggu belanja negara,” ujarnya.

Setali tiga uang, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memprediksi akan banyak bank yang tak terlalu membutuhkan likuiditas yang serta-merta ingin menjadi bank mitra.

Moral hazard ini yang juga perlu diperhatikan. Mungkin ada bank yang memang bisa dibantu, tetapi banyak juga bank yang akan mengajukan bantuan meski sebenarnya bisa menyelesaikan masalah likuditasnya sendiri,” ujarnya.

Sementara itu, bos-bos bank BUMN pun lantas menyebutkan adanya “suntikan dana” ini akan segera ditransmisikan secara agresif dalam bentuk kredit kepada nasabah, bahkan hingga tiga kali lipat dari nilai dana yang ditempatkan pemerintah.

Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Sunarso mengatakan penempatan dana pemerintah ini dapat memperkuat likuiditas bank BUMN sekaligus menggerakkan sektor riil.

“Kami di Bank Himbara berkomitmen menumbuhkan ini [dana pemerintah] tiga kali lipat dalam waktu 3 bulan. Kami sudah punya rencana, nanti bisa ditanyakan ke masing-masing Dirut Himbara,” katanya.

Khusus di BRI, pihaknya telah menyusun rencana rencana ekspansi kredit untuk 3 bulan ke depan, baik target dan segmen pasar, maupun berdasarkan kewilayahan. “Misalnya jika [BRI] dapat Rp10 triliun, kami harus ekspansi Rp30 triliun dan kami komit untuk mencapai lebih dari itu,” jelas Sunarso.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Royke Tumilaar mengatakan pihaknya telah menyiapkan rencana ekspansi kredit, setelah restrukturisasi yang dilakukan bank sejak awal Maret hingga Juni 2020.

“Kami siap ekspansi, terutama di daerah yang punya kesempatan tumbuh, terutama di daerah wisata, yang mungkin segera dibuka, perdagangan dan sektor lain yang bisa menjadi tumpuan agar UMKM bisa cepat pulih,” tutur Royke.

Senada, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Herry Sidharta mengatakan ekspansi kredit akan diprioritaskan kepada industri padat karya, juga ke sektor ekonomi yang memberi stimulan pada percepatan pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Pahala Nugraha Mansury mengatakan ekspansi dari dana yang ditempatkan pemerintah akan tetap difokuskan pada penyaluran kredit perumahan. Bank BTN akan lebih agresif menggenjot kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi.

“Komitmen dari dana yang ditempatkan, kami akan ekspansi tiga kali dari jumlah yang ditempatkan di BTN dan fokus kami 40% akan disalurkan ke KPR subsidi,” katanya.

Pahala menyampaikan, pada saat yang sama, saat ini juga tengah berjalan paket stimulus ekonomi jilid kedua, di mana BTN diberikan kepercayaan untuk menyalurkan rumah subsidi sebesar Rp146.000 dengan total nilai penyaluran sebesar Rp18-Rp20 triliun hingga akhir 2020.

Di samping itu, perseroan juga akan menyalurkan kredit sektor konstruksi terkait dengan KPR, baik bersubsidi maupun non-subsidi. "Kami optimis harapan yang ditaruh kepada Bank BTN akan terlaksana," tutur Pahala. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper