Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan mengungkapkan rasio kredit bermasalah yang terus meningkat hingga mencapai level 3,22% pada Juli 2020 adalah hal yang wajar.
Adapun rasio nonperforming loan (NPL) gross terendah berada pada Desember 2020 yakni sebesar 2,53%. Selanjutnya, mulai periode penyebaran pandemi Covid-19, posisi NPL gross terus menanjak, sejak Maret sampai Juli berturut-turut menjadi 2,77%, 2,89%, 3,01%, 3,11%, dan Juli posisi tertinggi 3,22%.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan rasio kredit bermasalah NPL yang tidak meningkat di tengah pandemi Covid-19 justru menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, banyak usaha yang berhenti sehingga potensi NPL meningkat akan terjadi meskipun tetap ada yang direstrukturisasi.
Menurutnya, rasio NPL yang per Juli 2020 sudah menyentuh 3,22% masih terhitung wajar karena masih ada di bawah threshold sebesar 5%. Jika rasio NPL bank berada di atas 5% maka bank akan masuk pengawasan insentif.
"Kondisi [masuk pengawasan insentif] masih jauh, profil risiko Juli 2020 masih level managable dengan gross 3,22% dan sedikit meningak dari 3,11% pada Juni 2020," katanya, Kamis (27/8/2020).
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan meskipun NPL gross mengalami kenaikan, NPL net justru menurun yakni dari posisi 1,13% pada Juni 2020 menjadi 1,12% pada Juli 2020.
Baca Juga
Kondisi tersebut, lanjutnya, menandakan bank yang tetap membentuk biaya pencadangan meskipun mendapatkan relaksasi. Bank tetap memilih berhati-hati dengan membentuk biaya pencangan sebagai antispasi pemburukan kualitas kredit.
Perlu diketahui, NPL net merupakan NPL gross yang sudah dikurangi dengan biaya pencadangan yang dibentuk oleh perbankan.
"Di tengah pandemi meskipun ada relaksasi restrukturisasi dan kelonggaran untuk tidak membentuk pencadangan, tetapi bank tetap berhati-hati membentuk pencadangan yang tercermin dari NPL net yang membaik," katanya.