Bisnis.com, JAKARTA - Tren penyaluran pinjaman produktif yang minim risiko, masih jadi andalan para pelaku teknologi finansial peer-to-peer lending (fintech lending) menanti pulihnya kondisi perekonomian yang terdampak pandemi Covid-19.
Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menjelaskan bahwa inilah alasan kenapa secara umum peminjam dana (borrower) yang mengambil pinjaman jenis invoice financing masih mendominasi.
"Pinjaman ke sektor produktif itu terbagi untuk sektor mikro, kemudian ada online merchant financing, dan invoice financing. Pinjaman berbasis invoice ini sampai saat ini memang mengambil porsi yang besar karena ini yang risikonya paling terukur," jelasnya, Kamis (19/11/2020).
Kuseryansyah menekankan borrower pinjaman jenis ini jelas paling mudah masuk ke dalam platform, dan paling laris diambil para pemberi pinjaman (lender).
Hal ini karena pinjaman invoice financing memiliki kepastian lebih dan data yang terverifikasi. Karena borrower sudah menyelesaikan pekerjaan atau proyeknya, namun belum menerima pembayaran dari payor.
Biasanya, pinjaman ini dibutuhkan karena pembayaran oleh payor memakan waktu hingga hitungan bulan, sehingga borrower butuh suntikan modal dari pinjaman P2P lending untuk likuiditas dan menjaga arus kas perusahaannya.
Baca Juga
Oleh sebab itu, dalam diskusi virtual bertajuk 'Peran Fintech Lending dalam Pengembangan Ekosistem Kewirausahaan/UMKM', AFPI menekankan bahwa ekosistem digital merupakan jalan keluar yang mampu menekan risiko pinjaman UMKM di sektor-sektor yang tak bisa masuk ke pangsa invoice financing.
Tujuannya agar mekanisme credit scoring para platform fintech lending, bisa menerima data kondisi keuangan dan arus kas UMKM tersebut secara digital, rapi dan sesuai standar akuntansi, serta lebih transparan.
Penyelenggara fintech P2P lending PT Lunaria Annua Teknologi atau KoinWorks sepakat bahwa kehati-hatian masih menjadi kunci. Benedicto Haryono, CEO & Co-founder KoinWorks menjelaskan bahwa hal ini tak lepas dari upaya melindungi terhadap para lender dari risiko gagal bayar borrower.
Inilah alasan kenapa dominasi kategori scoring KoinWorks dari para borrower minim risiko (A) sampai sangat berisiko (E), sebelum pandemi dengan setelah pandemi tampak begitu berbeda.
"Selama pandemi memang kita perketat. Jadi apabila sebelumnya kebanyakan borrower itu profil risikonya A dan B, sekarang itu B dan C. Bahkan, yang D dan E sekarang itu kita minimalisir betul untuk bisa masuk [ke marketplace platform]," ujarnya, Kamis (19/11/2020).
Ben menjelaskan bahwa secara nilai, pinjaman invoice financing jangka pendek di platform-nya memang sedikit lebih mendominasi hingga 55-60 persen, sementara installment based jangka panjang memiliki pangsa 40-45 persen.
Menurutnya, hal ini wajar karena tanpa suatu kerja sama, bimbingan, atau kepastian tertentu, penyaluran pinjaman untuk modal awal UMKM di Indonesia yang kebanyakan omzetnya Rp300 juta sampai Rp2,5 miliar per tahun, terbilang berisiko.
"Jadi memang kebanyakan UMKM kita itu memang lebih butuh pinjaman untuk arus kas. Bukan hanya karena pandemi saja, tapi memang kebanyakan masih di level itu. Tapi kita bisa dorong UMKM yang butuh pinjaman capex, nilainya besar, dan jangka panjang, asalkan dia memang sudah lebih mature," tambahnya.
Adapun, CoFounder & CEO PT Mitrausaha Indonesia Group (Grup Modalku) atau Modalku Reynold Wijaya menjelaskan bahwa jenis pinjaman invoice financing mendominasi platform-nya, karena kebanyakan borrower Modalku berada di sektor perdagangan besar dan eceran.
Reynold mengungkap bahwa bukan berarti tak ada harapan bagi UMKM yang membutuhkan pinjaman untuk modal awal berproduksi. Modalku menekankan assessment yang dilakukan secara menyeluruh saat pengajuan pinjaman untuk memastikan peminjam memiliki kemampuan untuk melunasi pinjaman.
"Kami akan menganalisa arus kas UMKM tersebut selama 3 bulan terakhir melalui rekening koran yang menjadi salah satu dokumen lampiran ketika mengajukan pinjaman. Setelah UMKM mendapatkan pinjaman, Modalku melakukan monitoring secara rutin dengan berkomunikasi secara regular dengan peminjam agar bila terdapat kendala bisnis, kita dapat mendukung untuk menemukan solusi," jelasnya kepada Bisnis.
Menurut Modalku, terpenting para pelaku UMKM tersebut telah memiliki pasar secara digital, atau masuk dalam ekosistem digital tertentu. Hal ini karena UMKM yang telah melek teknologi dinilai lebih resilience dan mampu bertahan hidup di era new normal.