Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menekankan bahwa biaya layanan platform teknologi finansial (fintech) lending tak bisa dipukul rata, tergantung kemampuan dan jenis pinjaman.
Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah menjelaskan maksimal bunga 0,8 persen per hari sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bukanlah patokan untuk semua platform dan semua jenis pinjaman.
"Misalnya, buat yang bermain di penyaluran untuk borrower [peminjam dana] sektor produktif, biaya layanan pasti tidak akan 0,8 persen per hari seperti di multiguna. Pasti jauh di bawah itu karena tenornya lebih panjang," ungkapnya dalam diskusi virtual, Rabu (17/2/2021).
Kus mencontohkan, ada dua jenis pinjaman produktif yang jelas tak mungkin mematok bunga harian, karena dengan bunga setara kredit perbankan pun, masih bisa meng-cover seluruh risiko dan biaya layanan.
Misalnya, untuk produk invoice financing atau anjak piutang, biasanya jumlah pinjamanmya besar dan tenornya bulanan. Begitu pula dengan pinjaman merchant online atau pedagang e-commerce, yang biasanya memiliki tenor lebih pendek karena dipakai untuk arus kas atau kulakan.
Beda cerita dengan pinjaman multiguna dengan tenor pendek, harian atau mingguan. Bunga bisa berlaku harian, dan mengakomodasi keringanan apabila borrower membayar lebih awal.
Baca Juga
"Contoh, borrower pinjam Rp500.000 selama seminggu, 0,8 persen berarti biaya layanan sekitar Rp25.000. Kalau ditanyakan secara persentase memang besar, tapi approach kita kan untuk mencakup layanan operasional," jelasnya.
Kus mencontohkan, biaya operasional yang tercakup ini di antaranya sewa internet, mitigasi risiko, sewa digital signature, sewa ascrow account milik perbankan, belum lagi ditambah biaya pemasaran dan return investasi digital yang telah digelontorkan platform.
"Jadi kalau biaya-biaya itu bisa turun, jelas [bunga] kita bisa makin kompetitif. Salah satu yang sedang diupayakan bersama OJK memang terkait credit scoring untuk UMKM agar lebih baik, lebih ada kepastian bayar, dan biaya risiko bisa turun," jelasnya.
Sayangnya, problem terkait data UMKM sebagai acuan credit scoring yang belum terintegrasi, masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Maka, kerja sama berbagai stakeholder terkait bisa jadi solusi untuk mengatasi fenomena ini.
Demi mengatasi hal ini, AFPI bersama OJK telah membangun infrastruktur fintech data center (FDC) untuk mengumpulkan data para borrower.
"Sekitar 142 dari 148 platform sudah bergabung ke FDC. Ini berguna untuk meneliti borrower yang sudah pernah meminjam antarplatform. Bisa dilihat kan riwayat pembayaran di platform lain sebelumnya bagaimana, jadi kita bisa nilai mereka masuk profil risiko yang mana," tutupnya.