Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Daftar PR Fintech Lending untuk Kota Kecil dan Pedesaan

Temuan dalam riset berdasarkan wawancara dengan para responden di kota Tier 2 dan Tier 3 Indonesia, berhasil menangkap setidaknya enam kendala yang paling banyak dirasakan.
Karyawan menunjukan aplikasi KoinWorks saat meluncurkan KoinP2P di Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Karyawan menunjukan aplikasi KoinWorks saat meluncurkan KoinP2P di Jakarta, Kamis (20/2/2020).

Bisnis.com, JAKARTA - Platform kredit digital dan teknologi finansial peer-to-peer (fintech P2P) lending masih punya pekerjaan rumah untuk terus melawan stigma negatif, terutama dari kalangan masyarakat kota kecil dan pedesaan.

Riset perusahaan modal ventura Alpha JWC Ventures bersama perusahaan konsultan manajemen global Kearney bertajuk 'Unlocking Next Wave of Digital Growth: Beyond Metropolitan Indonesia', setidaknya mengungkap beberapa gambaran mengenai hal ini.

Sekadar informasi, riset ini berupaya memahami perbedaan kondisi adopsi digital dari warga 15 kota metropolitan (Tier 1), dengan 76 kota rising urbanites (Tier 2) seperti Semarang, Makassar, dan Denpasar, 101 kota atau kabupaten slow adopters (Tier 3) seperti Magelang, Prabumulih, dan Bangli, serta 322 kota atau kabupaten lain sebagai rigid watchers (Tier 4).

Principal Kearney Rinaldo Augusta menjelaskan bahwa temuan dalam riset berdasarkan wawancara dengan para responden di Tier 2 dan Tier 3, berhasil menangkap setidaknya enam kendala yang paling banyak dirasakan.

Kendala itu, lanjut dia, terkait ease of use dari para nasabah peminjam atau borrower, di mana masih banyak yang kesusahan dalam melengkapi persyaratan yang diminta platform, serta kesulitan memahami jenis produk yang tepat buat mereka, sehingga akhirnya berbuah penolakan pinjaman.

"Opsi pilihan platform dan produk di market sudah sangat beragam, membuat beberapa responden Tier 2 dan Tier 3 mengaku masih bingung, mana pilihan yang paling tepat buat tujuannya atau usahanya," ungkap Rinaldo dalam pemaparannya di laman resmi Alpha JWC, dikutip Bisnis, Jumat (2/4/2021).

Kedua, yaitu dominasi stigma negatif terkait biaya layanan atau bunga yang lebih mahal ketimbang lembaga jasa keuangan konvensional, serta persepsi buruk secara umum dari agama dan kultur, terkait layanan pinjam-meminjam uang yang membebankan biaya besar.

Terakhir, yaitu ketakutan tidak mampu mendapatkan pendana (lender) yang mau meminjamkan dana, serta takut kendala jaringan internet yang tidak stabil bakal berdampak pada eror, kesalahan input, atau kesulitan transaksi, di mana paling banyak menjadi sorotan buat warga Tier 2 dan Tier 3 di luar Jawa.

Adapun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memahami bahwa edukasi konsumen merupakan solusi utama dalam mengatasi hal tersebut.

Oleh karena itu, OJK pun menggelar beberapa inisiatif seperti mewajibkan setiap platform untuk menggelar kegiatan dalam rangka meningkatkan literasi dan inklusi keuangan, berupa sosialisasi dan edukasi. Terkini, OJK bahkan akan mewajibkan platform untuk memiliki pangsa pasar di luar Jawa.

Bagi penyelenggara berstatus terdaftar, wajib 12 kali sosialisasi di kota dan provinsi berbeda dengan proporsi enam kali di Pulau Jawa dan enam kali di luar Pulau Jawa. Sedangkan untuk penyelenggara berstatus berizin, wajib rutin tiga kali dalam setahun dengan proporsi satu kali di Pulau Jawa dan dua kali di luar Pulau Jawa.

Sementara itu, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan mengungkap bahwa rencananya, aturan baru terkait fintech P2P bakal mewajibkan setiap platform memiliki portofolio ke luar Jawa minimum 20 persen dari total penyaluran pendanaan tahunan pada tahun berjalan.

Dari sisi platform, stigma negatif terkait layanan fintech secara umum di kota kecil dan pedesaan diakui oleh PT Amartha Mikro Fintek atau Amartha yang fokus menggarap segmen peminjam dana (borrower) UMKM wanita dan pedesaan.

Founder dan CEO Amartha sekaligus Juru Bicara Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Andi Taufan Garuda Putra mengungkap beberapa kisah terkait hambatan dalam memberikan akses permodalan ke borrower miliknya.

"Bisa dibilang, memfokuskan diri untuk segmen kota-kota kecil dan pedesaan memang jalan yang terjal. Terutama, terkait mindset calon borrower dalam menjalani usaha, dan masih nyaman dengan kebiasaan meminjam uang secara informal, seperti ke tetangga atau lembaga keuangan ilegal," jelasnya kepada Bisnis.

Beberapa kasus unik yang terungkap menjadi kendala, misalnya mindset bahwa terlalu sering menggunakan layanan telepon pintar itu 'buruk', menganggap banyak hal di dalamnya yang berbau penipuan atau ilegal, dan kebiasaan suka menunda pembayaran cicilan.

Oleh sebab itu, menurut Taufan, lampu hijau dari otoritas agar platform P2P bekerja sama dengan lembaga keuangan mikro berbasis lokal, seperti rumpun koperasi simpan-pinjam atau BPR, merupakan angin segar.

Menurutnya, kemudahan dan fleksibilitas dari platform fintech, ditambah kemampuan lembaga keuangan mikro yang mampu mengenal dan dekat dengan nasabah secara personal, merupakan kolaborasi untuk mendongkrak penyediaan akses keuangan bagi masyarakat di luar kota-kota besar Tanah Air.

"Kami memang sudah 10 tahun fokus menyasar masyarakat pedesaan, tapi bukan berarti tidak ada barrier dan hambatan lagi. Kita masih menemui juga rendahnya literasi keuangan, apalagi literasi keuangan digital. Kalau keduanya bisa bersatu, saya yakin perekonomian dan potensi pembiayaan kepada basis masyarakat pedesaan bisa lebih maju," tambahnya.

Adapun, Benedicto Haryono, CEO & Co-founder PT Lunaria Annua Teknologi atau KoinWorks mencoba menjawab ketakutan UMKM di kota kecil dan pedesaan yang mempertanyakan kapasitas layanan platform P2P.

Pria yang akrab disapa Ben ini menekankan bahwa UMKM tak perlu khawatir. Pasalnya ekspektasi otoritas yang memberikan kepercayaan industri fintech P2P lending untuk menjadi garda depan inklusi keuangan memang nyata adanya.

Platform fintech P2P lending kini terus memperbesar fungsi intermediary dari lembaga jasa keuangan konvensional seperti bank, modal ventura asing, atau multifinance, untuk menyalurkan likuiditas mereka kepada kalangan unbankanle dan underserved.

"Penyaluran dana yang masuk ke KoinWorks dari lender institusi itu sekitar 20 persen dari total penyaluran, sementara 80 persen dari lender retail atau perseorangan. Kami yakin, mereka semua ini percaya mau mendanai UMKM yang ada di platform KoinWorks, karena melihat potensi mereka untuk berkembang, dan akhirnya ingin ikut membantu," jelasnya.

Ben mengungkap tips agar UMKM lebih mudah mendapatkan pendanaan lewat platform P2P, yaitu terbuka untuk mencoba berbagai layanan digital yang bisa memberikan dampak positif buat kegiatan usahanya.

"Kami kebanyakan melirik borrower UMKM yang berpengalaman, mau menjual barangnya lewat e-commerce, atau terbiasa menggelar promosi lewat media sosial atau platform digital lain. Kami melihat, UMKM yang seperti ini memiliki kecenderungan survive yang tinggi dan lebih mampu beradaptasi, terutama dalam melewati periode pandemi," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper