Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dinilai perlu mempertahankan suku bunga acuan pada level 3,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur bulan ini.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menyampaikan, keberlanjutan gangguan rantai pasok dan kelangkaan energi sebagai dampak dari konflik Rusia dan Ukraina telah memberikan tekanan pada inflasi global dan proses pemulihan ekonomi.
Di dalam negeri, dampaknya mulai terasa karena laju inflasi yang diperkirakan akan meningkat pada April sejalan dengan momentum Ramadan dan Idulfitri.
Namun demikian, kata Riefky, neraca perdagangan muncul sebagai salah satu yang diuntungkan dari tren kenaikan harga komoditas yang berkepanjangan yang dapat menjaga stabilitas rupiah dan pertumbuhan ekonomi dari jalur ekspor.
Ekspor Indonesia pada Maret 2022 tercatat sebesar US$26,50 miliar, meningkat 29,42 persen dibandingkan Februari 2022, juga meningkat 44,36 persen dibandingkan Maret 2021.
Di sisi lain, gejolak ekonomi global, di mana beberapa bank sentral utama yang memulai proses pengetatan moneter, juga memberikan risiko bagi perekonomian domestik.
Baca Juga
The Fed memberi sinyal akan menaikkan suku bunga enam kali lagi tahun ini dan lebih agresif untuk menahan kenaikan inflasi di Amerika Serikat dan menjaga stabilitas harga.
“Terlepas dari gejolak pasar keuangan global baru-baru ini, rupiah memiliki pergerakan yang cukup stabil dan memiliki kinerja yang baik dibandingkan dengan rekan-rekannya,” katanya, Selasa (19/4/2022).
Rupiah kata dia menunjukkan fluktuasi yang cukup stabil di tengah gejolak ekonomi dan geopolitik global saat ini.
Di samping itu, hampir tidak ada perubahan signifikan pada posisi cadangan devisa BI pada Maret 2022.
Oleh karena itu, menurutnya, BI perlu menahan suku bunga acuannya di 3,5 persen bulan ini.
“Selain itu, BI perlu mempertahankan sikap moneter yang pro-stabilitas dan kebijakan makroprudensial yang pro-pertumbuhan selama masa-masa yang tidak pasti ini,” tuturnya.