Bisnis.com, JAKARTA — Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap nilai tukar rupiah dinilai perlu diwaspadai. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah memperkirakan tingkat inflasi berpotensi melebihi level 6 persen, bahkan bisa mencapai kisaran 8 hingga 10 persen.
“Jika harga Pertalite dinaikkan, inflasi berpotensi melonjak hingga di atas 6 persen atau bahkan mencapai 8–10 persen,” katanya kepada Bisnis, Jumat (2/9/2022).
Kondisi ini menurutnya akan memicu pelemahan rupiah. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga berpotensi meningkat lebih tinggi jika Bank Sentral Amerika Serikat (AS) kembali menaikkan suku bunga ke depan.
“Bila diasumsikan pemerintah ke depan menaikkan harga BBM subsidi, inflasi domestik akan melonjak naik. Rupiah berpotensi melemah dan tekanan pelemahan semakin besar apabila the Fed juga menaikkan suku bunga acuan,” kata dia.
Dengan perkembangan tersebut, Piter memperkirakan rupiah bisa mencapai kisaran Rp14.900 hingga Rp15.200 per dolar AS jika harga BBM subsidi dinaikkan.
Namun, dengan asumsi tidak ada kenaikan harga BBM bersubsidi, nilai tukar rupiah diperkirakan mencapai kisaran Rp14.600 hingga Rp14.800 per dolar AS hingga akhir tahun.
Piter berpendapat, dalam hal ini Bank Indonesia (BI) masih harus menaikkan suku bunga acuan, juga melanjutkan kebijakan intervensi di pasar valas.
Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus 2022, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan bahwa BI terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.
Langkah stabilisasi tersebut dilakukan dengan intervensi di pasar valas baik melalui transaksi spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian/penjualan SBN di pasar sekunder.
BI juga melakukan pembelian/penjualan SBN di pasar sekunder untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah atau yang disebut dengan operation twist.
Operation twist dilakukan untuk meningkatkan daya tarik imbal hasil investasi portofolio SBN jangka pendek dan mendorong struktur yield SBN jangka panjang lebih landai, dengan pertimbangan tekanan inflasi bersifat jangka pendek dan akan kembali ke level sasarannya dalam jangka menengah panjang.
“Dalam kondisi seperti ini jelas twist operation tidak cukup. BI harus menaikkan suku bunga, diimbangi dengan intervensi valas ketika dibutuhkan,” kata Piter.