Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah gempuran ketidakpastian ekonomi global dan mendakinya harga bahan bakar minyak (BBM), sejumlah perbankan mulai aktif menggarap kerja sama dengan perusahaan asuransi alias bancassurance untuk mendukung kebutuhan nasabah dalam merencanakan kebutuhan finansial di masa mendatang.
Anak perusahaan dari United Overseas Bank Limited, PT Bank UOB Indonesia misalnya, yang bermitra dengan Prudential Indonesia dengan meluncurkan produk asuransi berbasis syariah bernama PRUTect Care untuk mempermudah proses pembelian asuransi jiwa. Pembelian asuransi jiwa ini kini hadir di aplikasi andalan UOB Indonesia, yaitu TMRW.
Head of Wealth and Retail Liabilities UOB Indonesia Vera Margaret menyatakan kerja sama ini merupakan komitmen UOB Indonesia dalam memberikan layanan serta pemenuhan kebutuhan nasabah di segmen milenial dan gen Z yang paham akan teknologi.
Di samping itu, kerja sama dengan dengan Prudential Indonesia ini juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya memiliki asuransi sebagai cara mengurangi risiko serta proteksi diri untuk masa depan.
“Kolaborasi ini merupakan bentuk keahlian masing-masing perusahaan, baik dalam industri perbankan maupun asuransi untuk membantu nasabah UOB Indonesia membangun mimpi nasabah di masa mendatang,” kata Vera di Jakarta, Senin (19/9/2022).
Senada, Bank DBS Indonesia juga meluncurkan MiTreasure Future Smart Assurance (MiTRUST), yaitu produk asuransi dwiguna untuk perencanaan masa depan yang aman dan penuh keyakinan, serta dilengkapi dengan proteksi jiwa. Peluncuran produk asuransi ini merupakan hasil kerja sama antara DBS Indonesia dengan Manulife Indonesia.
Baca Juga
Presiden Direktur Bank DBS Indonesia Chu Chong Lim mengatakan melalui kerja sama dengan Manulife Indonesia, pihaknya menghadirkan solusi untuk menjawab kekhawatiran para nasabah melalui produk MiTRUST.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai mulai aktifnya perbankan menggarap bisnis bancassurance disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah pada saat masa pandemi Covid-19.
Bhima mengatakan mayoritas masyarakat memandang biaya kesehatan merupakan sesuatu yang sangat mahal. Oleh sebab itu, masyarakat mulai mempersiapkan perencanaan keuangan, termasuk mengambil polis asuransi supaya terproteksi dan tidak terlalu mengguncang sisi keuangan.
Kedua, kelas menengah atas –golongan simpanan perbankan di atas Rp100 juta– masih memiliki likuiditas yang cukup tebal. Dengan simpanan yang cukup tebal, nasabah kelas menengah mulai mengatur kembali perencanaan keuangan, termasuk membeli produk-produk asuransi.
“Jadi bergeser, dari simpanan bank kemudian dimasukkan ke bancassurance,” kata Bhima kepada Bisnis, Senin (19/9/2022)
Ketiga, cukup masif penawaran asuransi menggunakan e-commerce dan aplikasi digital. Namun, Bhima mengungkapkan bahwa kepercayaan perbankan terhadap persepsi masyarakat relatif lebih tinggi.
“Sehingga ketika bank menjual atau menjadi distributor produk asuransi, bank dianggap memiliki tingkat kepercayaan yang lebih baik dibandingkan menggunakan aplikasi atau agen asuransi secara langsung,” terangnya.
Sementara itu, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin memandang langkah perbankan melirik bisnis bancassurance merupakan alternatif perbankan untuk meningkatkan database customer dan komisi fee-based income (FBI).
Tren dan Tantangan
Sejumlah pengamat menilai bisnis bancassurance masih menunjukkan tren positif hingga akhir 2022, seiring dengan melandainya kasus Covid-19 dan melonggarnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM.
Sementara itu, jika dilihat dari sisi ketidakstabilan global dan ekonomi Indonesia, Bhima melihat masih adanya kemungkinan sisi pengelolaan dana asuransi yang berisiko naik.
“Tapi dari preferensi menengah atas dengan naiknya risiko global mungkin lebih tertarik mengambil polis asuransi untuk perlindungan aset, kesehatan, dan asuransi jiwa,” ucapnya.
Jika ditarik ke belakang, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengingatkan kembali kepada kasus Bank Century. Dia mengingatkan agar otoritas melakukan pengaturan agar kinerja baik bank maupun asuransi tetap baik, sehingga risiko-risiko yang muncul bisa dimitigasi serta harus selalu mengutamakan perlindungan konsumen.
“Harus diantisipasi bagaimana kalau terjadi kegagalan baik itu di bank maupun asuransi. Jangan sampai kasus Bank Century terulang. Kegagalan pada bank menyebabkan kerugian di nasabah asuransi atau sebaliknya,” kata Piter.
Di samping itu, Bhima memandang minimnya edukasi, kurangnya literasi, serta pengawasan terhadap produk asuransi masih menjadi tantangan tersendiri di industri ini. Sepakat dengan Bhima, Amin mengatakan tantangan lainnya adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat dan customer. Untuk itu, perlu adanya sosialisasi dan edukasi serta keterbukaan informasi.
Meski adanya tantangan yang menghadang, baik Amin maupun Bhima, keduanya berpendapat prospek bisnis bancassurance masih cukup bagus, meski bisnis ini harus dikelola dengan hati-hati dan lebih baik lagi.
“Saya kira ke depannya tren [bisnis bancassurance] akan cukup positif, tapi pengawasan literasi jangan sampai kendor,” tekan Bhima.