Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri teknologi finansial (fintech) pendanaan bersama (P2P lending) atau akrab disebut pinjol bersiap menghadapi fenomena banjir permintaan pinjaman, di tengah era suku bunga mahal lembaga keuangan konvensional.
Sebagai pengingat, Bank Indonesia (BI) kembali mengerek suku bunga acuan hingga menyentuh level 4,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur Oktober 2022. Besar kemungkinan para pemain industri perbankan mulai menyesuaikan suku bunga kreditnya dalam waktu dekat.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko membenarkan bahwa industri tekfin P2P berpeluang tetap tumbuh, salah satunya karena lembaga keuangan konvensional bakal lebih selektif dalam menyalurkan kredit.
"Setiap platform P2P akan melakukan hal yang sama seperti ketika era pandemi Covid-19, yaitu penilaian dan pengambilan keputusan yang cepat untuk melihat segmen borrower [peminjam] potensial. Sampai saat ini, proyeksi penyaluran pinjaman industri di akhir tahun masih diperkirakan tumbuh 50 persen ketimbang tahun lalu," ujarnya ketika dikonfirmasi Bisnis, Senin (24/10/2022).
Sekadar informasi, berdasarkan statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait kinerja 102 platform P2P resmi per Agustus 2022, nilai penyaluran pinjaman sejak awal tahun mencapai Rp148,83 triliun yang diterima oleh 124 juta akun peminjam secara kumulatif.
Sebagai perbandingan, industri P2P sepanjang tahun lalu menyalurkan Rp155,97 triliun. Artinya, target pertumbuhan sekitar 50 persen (year-on-year/yoy) mengisyaratkan bahwa penyaluran pinjaman bisa tembus Rp225 triliun pada akhir periode 2022 nanti.
"Ketika krisis akibat pandemi Covid-19, industri P2P tetap bertumbuh karena kemampuan para pemain melihat peluang dari segmen-segmen borrower yang walaupun berisiko tinggi, tapi tetap terukur. Jadi kalau pun ke depan ada lonjakan permintaan pinjaman kepada kami, tentu tidak akan semuanya dikasih pinjaman juga. Para pemain akan tetap pilih-pilih yang potensial," tambahnya.
Akan tetapi, Sunu melihat ada tantangan yang akan dihadapi oleh para pemain di tengah era suku bunga mahal, yaitu kesulitan mendapatkan pemberi pinjaman yang cocok. Terlebih, bagi platform yang mengandalkan lender ritel.
Pasalnya, era suku bunga mahal secara tidak langsung akan mendorong pemberi pinjaman mengharapkan kenaikan imbal hasil, serta kepastian akan keamanan lebih atas asetnya. Oleh sebab itu, setiap platform harus bisa memastikan bahwa mereka punya penawaran yang kompetitif dibandingkan instrumen investasi konvensional.
"Tentu akan ada tekanan dari pemberi pinjaman soal expected return. Platform biasanya bisa fleksibel soal return, tergantung dari bisnis borrower. Tapi, bisa jadi mulai banyak lender yang wait and see. Namun, secara umum AFPI salut kepada platform yang saat ini sudah mengandalkan lender ritel, karena artinya mereka siap mengatasi potential issues akibat kondisi semacam ini," tutupnya.
Platform P2P klaster multiguna PT Pembiayaan Digital Indonesia (AdaKami) mengaku sepakat soal peluang dan tantangan di tengah era kenaikan suku bunga acuan perbankan.
"Kami lihat dampaknya lebih ke lender, ya, karena kenaikan suku bunga acuan juga menjadi trigger permintaan penyesuaian bunga dari para lender, dan ini khawatirnya menjadi kurang baik untuk bisnis P2P secara umum," ujar Business Development Manager AdaKami Jonathan Krissantosa kepada Bisnis.
Menurut Jo, hal ini menjadi salah satu alasan kenapa AdaKami cenderung mengambil strategi lebih moderat alias tidak membidik pertumbuhan terlalu signifikan, kendati ada peluang permintaan pinjaman bakal membludak dalam waktu dekat.
Sebagai informasi, saat ini AdaKami menyalurkan Rp15,83 triliun sejak berdiri, dengan Rp6,52 triliun di antaranya merupakan kinerja sepanjang tahun berjalan. Adapun, outstanding pinjaman saat ini tersisa Rp1,61 triliun dari 1,53 juta peminjam aktif, dengan tingkat keberhasilan bayar 90 hari (TKB90) terjaga di level 99,88 persen.
"Saat ini, kinerja penyaluran pinjaman AdaKami masih on the track. Walaupun ada potensi pertumbuhan signifikan ke depan, AdaKami sebenarnya sedang fokus di perbaikan kualitas pengguna, yang harapannya juga semakin memperkuat kualitas penyaluran pinjaman kami. Bahkan, kami sudah selektif duluan sebelum era kenaikan suku bunga acuan," tambah Jo.