Bisnis.com, JAKARTA — Pasar teknologi keuangan berbasis asuransi (insurance technology/insurtech) dinilai perlu memperkuat channeling agar bisnis ke depan mampu bertumbuh. Di sisi lain, insurtech di luar negeri diproyeksikan akan berguguran seiring dengan adanya resesi.
Ekonom dan Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pasar insurtech di Indonesia masih berpeluang tumbuh, akan tetapi pertumbuhan ini kurang mumpuni karena produk insurtech di dalam negeri belum terlalu ditawarkan.
“Jika melihat di negara lain, fase transformasi insurtech nya justru ditawarkan oleh perusahaan non asuransi, misal nya lewat bankasurance. Perlu diketahui saat ini banyak masalah skandal asuransi, dan ini menurunkan kepercayaan masyarakat untuk membeli polis asuransi,” ujar Bhima kepada Bisnis, Senin (26/12/2022).
Jika insurtech ditawarkan melalui bancassurance dengan jalur mobile banking, hal ini akan menjadi daya tarik karena dianggap bahwa bank menjadi salah satu penjamin dalam asuransi. “Saya mleihat ke depan penawaran insurtech melalui aplikasi mobile banking, e-commerce, dan bankasurance mungkin akan elbih cepat adopsi nya,” ujarnya.
Bhima menyampaikan yang menjadi tantangan di industri insurtech saat ini adalah masalah channeling dan personalisasi, dalam artian segmentasi asuransi bisa lebih mengkerucut lagi, seperti menyasar kepada milenial, traveling, dan perlindungan barang pengiriman.
“Industri insurtech harus bisa lebih fokus lagi untuk menentukan pasarnya. Mereka juga harus kreatif untuk bisa mengembangkan industri ini. Lagi pula, dengan adanya undang-undang PPSK ini juga merubah landscape asuransi karena pengawasan lebih ketat. Kemudian nanti nya ke depan ada lembaga polis asuransi itu memberikan rasa keamanan juga bagi calon pemegang polis,” ujarnya.
Baca Juga
Di lain pihak, Pengamat IT sekaligus Direktur ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, minat masyarakat terhadap insurtech cukup tinggi karena sekarang kebutuhan untuk mengasuransikan mobil, rumah, kesehatan dan hal lainnya sangat dibutuhkan. Ke depan, industri insurtech masih cukup potensial apabila bisa dikembangkan dengan baik.
“Insurtech di Indonesia masih potensial, hanya saja masalahnya adalah kepercayaan masyarakat terhadap asuransi yang tengah menurun karena adanya kasus Jiwasraya, Bumi Putera, dan lainnya, sehingga berpotensi membuat industri insurtech sulit untuk bergerak,” ujar Heru.
Heru menyampaikan bahwa permasalahan yang terjadi di masyarakat saat ini adalah masalah klaim. Karena bukan rahasia umum lagi bahwa industri asuransi sangat mudah menerima pembayaran polis tapi ketika kewajiban nya ditagih dalam hal klaim ini bermasalah.
“Hal yang perlu dikuatkan di industri insurtech ini adalah fundamental kepercayaan masyarakat yang saat ini sedang menurun. Ke depan, secara industri asuransi perlu mengembalikan kepercayaan masyarakat, kalau kepercayaan masyarakat tidak kembali maka ini sulit untuk berkembang,” ujar Heru.
Sebagai informasi, dikutip dari Insurance Journal, riser Forrester menyebutkan bahwa lebih dari seperempat perusahaan insurtech akan gugur pada 2023 mendatang. Diperkirakan sebanyak 25 persen perusahaan insurtech akan gugurt atau diakuisisi oleh perusahaan lain. Proyeksi ini dipengaruhi oleh adanya sentimen inflasi yang tinggi, awan hitam resesi, dan investor mencari perusahaan yang lebih menguntungkan.