Bisnis.com, JAKARTA — Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 telah bermasalah sejak lama. Perusahaan asuransi tertua di Indonesia itu mengalami defisit Rp2,9 triliun per 31 Desember 1997.
Rangkaian upaya penyehatan perusahaan pun telah dilakukan sejak lama, semenjak defisit. Namun belum menemukan titik terang dalam masalah yang dihadapi.
Berikut ini Bisnis rangkum upaya penyehatan Bumiputera dari tahun ke tahun:
1997-2002
Setelah mengalami defisit pada 1997, Bumiputera masih beroperasi secara karena belum adanya ketentuan secara detail yang mengatur kesehatan keuangan perusahaan asuransi kala itu.
Baca Juga
Bumiputera kemudian diminta untuk menyusun program penyehatan jangka pendek (1 tahun) maupun jangka menengah (2 sampai 5 tahun) untuk memperbaiki investasi yang sesuai dengan core bisnisnya. Pengawasan perusahaan Kemduian mulai diintesifkan dengan berpedoman pada program penyehatan jangka pendek dan menengah yang disusun manajemen.
Namun upaya penyehatan tidak berhasil karena manajemen dinilai tidak mampu dalam menjalankan program penyehatan dan pengaruh Badan Perwakilan Anggota (BPA) yang pada saat itu dianggap cukup dominan dalam operasional Bumiputera.
2002-2010
Adapun angka defisit Bumiputera mencapai Rp2,7 triliun per 31 Desember 2002. Pada akhir 2004, pengawas melakukan evaluasi atas kondisi tersebut dan mengusulkan kepada Menkeu untuk dapat dilakukan likuidasi atau penyelamatan.
Bumiputera kemudian diputuskan untuk diselamatkan dan diperkenankan beroperasi dengan diberikan masa transisi pemenuhan kesehatan keuangan hingga 2010 melalui KMK 504 Tahun 2004.
Program penyehatan kemudian dilanjutkan. Namun hingga akhir 2009 kondisi perusahaan semakin buruk dengan defisit mencapai Rp5,8 triliun.
Pengawas kemudian kembali melakukan evaluasi dan merekomendasikan kepada Menkeu untuk likuidasi, atau penyelamatan dengan pengambilalihan kendali perusahaan. Regulator memilih opsi penyelamatan karena dianggap Bumiputera berpotensi berdampak sistemik. Upaya penyehatan berlanjut hingga akhir masa transisi di tahun 2010, namun kondisi perusahaan tidak menunjukkan tanda baik.
2010-2014
Pada 2010, kondisi defisit yang dialami terus meningkat bahkan mencapai angka Rp8,5 triliun per 31 Desember. Program penyehatan pun kembali dilanjutkan.
Bumiputera kala itu masih diberi kesempatan beroperasi dengan mekanisme Finre yang diusulkan Direksi dan BPA yang desetujui regulator. Dengan mekanisme Finre sebagian dari kewajiban Bumiputera dialihkan ke perusahaan Reasuransi, sehingga secara pembukuan Bumiputera dapat memenuhi ketentuan mengenai tingkat kesehatan keuangan.
Regulator kemudian meminta Bumiputera untuk menyusun Program Kerja Fundamental (PKF) 2011-2013 dan Perombakan signifikan manajemen. Bumiputera juga diminta menyampaikan rencana anorganik (rencana demutualisasi dan haircut) jangka panjang dan harus dimplementasikan dalam 2-3 tahun sejak 2011.
Namun sayang kondisi Bumiputera tidak berubah lantaran penyehatan melalui program kerja fundamental dan rencana anorganik tidak dapat diimplementasikan dengan baik.
Pengawasan Bumiputera dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal 2013 dengan posisi defisit per 31 Desesmber 2012 mencapai Rp19,7 triliun.
2014-2016
Kondisi defisit Bumiputera mencapai Rp19,4 triliun pada 31 Desember 2014. OJK pun melanjutkan kebijakan regulator sebelumnya dengan memperkenankan perusahaan beroperasi didukung mekanisme Finre, sehingga AJBB masih dapat memenuhi ketentuan kesehatan keuangan.
Program penyehatan dilanjutkan didukung konsultan BNP Paribas yang ditunjuk menejemen dan disetujui BPA. Manajemen kemudian menyusun program resrukturisasi Total Soultion untuk mengatasi permasalahan likuiditas dan solvabilitas perusahaan.
Namun, program Total Solution tidak dapat diimplementasikan oleh manajemen, antara lain karena tidak mendapat dukungan penuh BPA.
Program Penyehatan kembali terhambat sementara posisi defisit dan tunggakan klaim semakin menumpuk. Dengan kondisi Bumiputera yang semakin memburuk, ada 3 opsi yang dapat ditempuh.
Pertama haircut kewajiban kepada pempol (kewenangan BPA sesuai AD, namun tidak dapat dieksekusi BPA). Pencabutan Izin Usaha, atau Restrukturisasi Perusahaan secara menyeluruh.
Kemudian OJK memilih opsi penyehatan, kali ini sekaligus dengan menempatkan Pengelola Ststuter (PS) untuk melaksanakan fungsi Direksi dan Komisaris seusai UU.
2016-2018
Kondisi defisit Bumiputera per 31 Desember 2016 sebesar Rp19,1 triliun. Perusahaan mulai mengalami permasalahan likuiditas disamping solvabilitas.
Mekanisme i tidak bisa berjalan dan perusahaan terancam tidak dapat beroperasi karena tidak bisa memenuhi ketentuan dalam POJK Nomor 1 Tahun 2018 tentang kesehatan keuangan mutual yang diterbitkan pada 2018.
Kerena tidak memenuhi ketentuan kesehatan keuangan, PS mengajukan permohonan tertulis kepada OJK agar Bumiputera tetap diperkenankan beroperasi dan memohon masa transisi pemberlakuan POJK 1 terhadap Bumiputera selama 10-15 tahun.
Program penyehatan yang dilakukan PS melalui program Total Solution (TS) yang kemudian berubah menjadi Final Solution pada akhirnya juga tidak berjalan dengan baik sehingga PS memutuskan unttuk membatalkan seluruh perjanjian dengan calon investor (unwind).
Penyebab kegagalan Program TS antara lain tidak adanya komitmen bancassurance dengan anak perusahaan (PT AJB) dan mekanisme fund raising melalui skema right issue yang tidak dapat memenuhi ketentuan keterbukaan di bidang pasar modal.
Pengalihan aset Bumiputera dibatalkan dan seluruh aset perusahaan dikembalikan. Namun Bumiputera harus mengembalikan dana yang telah diterima dari calon investor.
2018-2019
Kondisi defisit Bumiputera diperkirakan mencapai Rp20 triliun pada 31 Desember 2018
Sejak Oktober 2018 penugasan PS diakhiri dan Program Penyehatan kembali dilanjutkan dengan manajemen baru yang dibentuk BPA sesuai AD perusahaan berkoordinasi dengan OJK.
Upaya penyehatan kali ini diikhtiarkan dengan harapan diperolehnya dukungan bisnis dari mitra kerja khususnya BUMN. Pada April 2018, dilakukan evaluasi oleh BPA atas pelaksanaan tugas 100 hari manajemen dan disimpulkan manajemen tidak mencapai target yang diharapkan sementara klaim jatuh tempo yang belum terbayar semakin bertambah.
Hubungan BPA dgn Direksi menjadi tidak kondusif. Pada 7 Mei 2019 BPA memberhentikan Dirut Bumiputera diikiuti dgn pemberhentian sementara dua Direksi.
2020-2022
Pada 2019, tunggakan klaim mencapai Rp4,2 triliun dan kemungkinan bertambah seiring potensi klaim sepanjang 2020 senilai Rp5,4 triliun. Bumiputera pun mulai melakukan pembayaran klaim melalui sistem antrean pada Februari 2020.
Direktur Utama Bumiputera kala itu Dirman Pardosi menyebutkan bahwa pihaknya tidak dapat menjanjikan waktu pembayaran klaim kepada nasabah karena Bumiputera mengalami tekanan finansial. Dia hanya menjanjikan bahwa begitu terdapat dana, maka uang tersebut akan langsung dibayarkan kepada nasabah.
Pada Desember 2020, Bumiputera tidak kunjung membayarkan tunggakan klaim. Dalam wawancara khusus bersama Bisnis pada 2020, manajemen Bumiputera menjelaskan bahwa perusahaan memiliki sekitar 4 juta hingga 5 juta pemegang polis dengan sekitar 365.000 polis yang telah jatuh tempo.
Total tunggakan yang harus dibayar mencapai Rp10 triliun. Dan nilai klaim akan terus membesar seiring semakin banyaknya polis jatuh tempo ke depan maupun nasabah yang pemutusan kontrak karena ketakutan akan kondisi perusahaan.
Bumiputera mulai melakukan pembayaran klaim pada 2021. Sepanjang 2021, perusahaan tersebut mencatatkan pembayaran klaim di atas Rp4 triliun.
Kemudian Bumiputera mencatatkan pembayaran klaim Rp1,27 triliun pada kuartal II/2022, turun secara tahunan. Di tengah penurunan pembayaran klaim, perolehan premi perusahaan justru tercatat tumbuh. Pada kuartal II/2022, pendapatan premi perusahaan tercatat senilai Rp532,4 miliar atau melonjak 59,2 persen (YoY) dari Rp334,46 miliar.
Pada Desember 2022, Juru Bicara Badan Perwakilan Anggota (BPA) Bumiputera RM. Bagus Irawan kala itu mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu persetujuan OJK mengenai rencana penyehatan keuangan perusahaan (RPKP). Oleh karena itu, laporan keuangan perusahaan akan berubah.
RPK AJB Bumiputera 1912 disetujui OJK pada 2023
Pada 10 Februari 2023, Bumiputera mendapatkan restu OJK atas Rencana Penyehatan Keunagan (RPK). Adapun RPK tersebut disetujui oleh OJK setelah diajukan tujuh kali oleh manajemen AJB Bumiputera 1912.
Bumiputera pun berharap mampu menyehatkan kembali keuangan perusahaan serta memberikan manfaat bagi pemegang polis, para pekerja dan agen. Serta kembali membangun kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi.
Bumiputera menyiapkan tiga langkah setelah RPK disetujui oleh OJK. Adapun tahapan pertama yang akan dilakukan perusahaan adalah penyelamatan.
Langkah tersebut akan berfokus pada pemenuhan likuiditas perusahaan untuk memenuhi kewajiban klaim tertunda. Kedua, tahap penyehatan yang beriringan dengan upaya penyelamatan. Dalam tahap ini, Bumiputera akan berfokus memperbaiki kondisi perusahaan penyelesaian kewajiban kepada pemegang polis dan menjaga kesinambungan operasional perusahaan.
Terakhir transformasi, dalam tahap ini perusahaan berjalan, beban pembayaran kewajiban kepada pemegang polis dan pihak ketiga sudah terurai dan terselesaikan. Bumiputera memastikan akan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), digitalisasi produk asuransi dan produk operasional.
Setelah mendapatkan lampu hijau tersebut,Direktur Utama AJB Bumiputera 1912 Irvandi Gustari pun mengatakan pihaknya akan segera menyampaikan informasi kepada pemegang polis mengenai penyelesaian klaim tertunda melalui task force pada akhir Februari 2023.