Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi tenggat waktu baru kepada 30 perusahaan asuransi umum yang belum memiliki aktuaris perusahaan hingga akhir tahun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menyatakan bahwa OJK mewajibkan agar perusahaan asuransi memiliki aktuaris perusahaan.
“Kami beri waktu sampai dengan akhir 2023 untuk [aktuaris] segera ada,” ujar Ogi dalam acara Indonesia Re International Conference (IIC) 2023 di Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Ogi menyebut OJK akan mengenakan sanksi kepada perusahaan asuransi berupa Surat Peringatan 1 hingga Surat Peringatan 2.
“Sampai kita nanti tidak segan-segan untuk memberi sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk perusahaan asuransi yang tidak memiliki aktuaris perusahaan,” tuturnya.
Stiap perusahaan asuransi wajib memiliki aktuaris perusahaan, ketentuan ini tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014), tepatnya pada Pasal 17 ayat (2) yang secara tegas mengatakan bahwa setiap perusahaan asuransi wajib mempekerjakan aktuaris.
Baca Juga
Sejalan dengan amanat UU tersebut, Ogi mengatakan bahwa regulator melakukan enforcement di awal 2023 agar perusahaan-perusahaan asuransi yang belum memiliki aktuaris harus segera memenuhi program tersebut.
Ogi merincikan bahwa mulanya, terdapat 50 perusahaan asuransi yang tidak memiliki aktuaris perusahaan. Namun, saat ini sudah masuk 20 aktuaris. Artinya, tersisa 30 perusahaan yang belum memiliki aktuaris perusahaan.
Adapun permasalahan yang tengah bergulir dan dikhawatirkan oleh 30 perusahaan adalah sertifikasi dari aktuaris.
Perlu diketahui, sertifikasi aktuaris perusahaan di industri asuransi terdiri dari Fellow dan Associate. Namun, regulator sejatinya tidak terlalu mempermasalahkan sertifikasi yang dimiliki oleh aktuaris, sepanjang aktuaris itu berasal dari rekomendasi Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI).
“Kami tentunya memproses fit and proper dari calon aktuaris perusahaan, terutama untuk perusahaan-perusahaan yang merasa risikonya cukup kecil sehingga tidak memerlukan sertifikasi yang ke tingkat tinggi,” kata Ogi dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK Bulan Juni 2023 secara virtual, Selasa (4/7/2023).
Oleh karena itu, Ogi menyampaikan bahwa regulator menunggu 30 perusahaan asuransi untuk segera memiliki aktuaris perusahaan dan apabila sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan aktuaris, OJK akan memberikan sanksi secara bertahap, termasuk pembatasan kegiatan usaha.
“Kami meminta mereka untuk melakukan action plan bagaimana cara pemenuhan, tentunya kalau itu diabaikan, OJK akan memberikan sanksi yang lebih berat seperti pembatasan kegiatan usaha dari perusahaan asuransi,” ungkapnya.
Kendala
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyampaikan bahwa perusahaan asuransi umum yang belum memiliki aktuaris jumlahnya terus menyusut. Meski demikian, asosiasi menyebut bahwa bukan berarti perusahaan yang belum memiliki aktuaria tidak melakukan action plan.
Ketua Umum AAUI Budi Herawan menuturkan bahwa perusahaan asuransi yang belum memiliki aktuaris tengah berproses merampungkannya dan terus berkomunikasi secara intens dengan PAI karena supply dan demand aktuaris yang sudah cukup, melainkan biaya tenaga aktuaris yang dikeluhkan menjadi permasalahan.
“Tapi saya masih optimis sampai akhir Desember ini harusnya fulfill [terisi] semua, karena ada 430 sekian aktuaria di pasar sedangkan kita masih kurang 30 aktuaria yang sebetulnya mereka sudah berproses, tinggal mengajukan ke regulator untuk fit and proper,” ujar Budi saat ditemui usai acara Indonesia Re International Conference (IIC) 2023 di Jakarta.
Di sisi lain, PT Asuransi Asei Indonesia atau Asuransi Asei menyampaikan bahwa idealnya, jumlah perusahaan asuransi harus setara dengan dengan keberadaan aktuaris. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa perusahaan asuransi umum kekurangan tenaga aktuaris.
Direktur Utama Asuransi Asei Dody AS Dalimunthe menjelaskan bahwa kurangnya tenaga aktuaris di perusahaan asuransi karena profesi aktuaris yang sudah berada di level FSAI (Fellow of the Society of Actuaries of Indonesia) belum banyak yang masuk ke perusahaan asuransi umum. Sedangkan, lanjut Dody, regulator mewajibkan agar setiap perusahaan asuransi memiliki aktuaris.
“Mau nggak mau akhirnya asuransi umum meng-hire jumlah actuary yang jumlahnya sedikit, sehingga cost [biaya] yang dikeluarkan jadi lebih tinggi,” ujar Dody.
Kendati demikian, Dody menyebut akar permasalahan yang terjadi bukan dari sisi biaya, melainkan terletak pada supply dan demand tenaga aktuaris yang belum seimbang dengan porsi perusahaan asuransi yang ada di Tanah Air.
Oleh karena itu, Dody mengusulkan agar satu aktuaris dapat menangani tiga perusahaan asuransi umum untuk sementara. “Tapi setelah PAI berhasil memperbanyak lulusan dari fellow actuary, maka sudah tidak ada lagi satu aktuaris meng-handle 3 perusahaan,” terangnya.
Solusi lainnya adalah mendatangkan aktuaris dari luar negeri. Dody menyebut bahwa usulan itu juga datang dari kalangan perusahaan patungan (joint venture).
“Jadi mestinya PAI sudah bisa mencoba untuk mengukur, jika ternyata supply actuary dari PAI belum banyak dan kebutuhannya mendesak, mau nggak mau dari luar akan masuk ke Indonesia,” pungkasnya.