Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap sejumlah permasalahan yang dapat mengakibatkan penyelenggara financial technology peer-to-peer (fintech) P2P lending alias pinjol mengalami kredit macet alias pinjaman macet.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan bahwa kredit macet fintech P2P lending salah satunya diakibatkan oleh hasil produksi pada borrower atau peminjam yang tidak mencapai target yang diestimasikan.
“Adanya kegagalan panen pada beberapa proyek serta adanya keterlambatan pembayaran dari offtaker penerima dana [juga menjadi penyebab fintech P2P lending mengalami kredit macet],” ungkap Ogi dalam keterangan tertulis, dikutip pada Kamis (6/7/2023).
Oleh karena itu, Ogi meminta agar setiap pemain fintech P2P lending terus melakukan penagihan kepada penerima pendanaan, pengecekan, hingga monitoring kepada peminjam dana alias borrower. Serta, melakukan upaya-upaya hukum terhadap borrower sebagai bentuk penanganan pinjaman macet tersebut.
“Selain itu, kami meminta penyelenggara untuk mengkomunikasikan proses penanganan pendanaan yang macet kepada lender [pemberi pinjaman] secara transparan dan up to date,” ujarnya.
Berdasarkan data statistik Fintech Lending periode Mei 2023 yang dipublikasikan OJK pada Senin (3/7/2023), tingkat risiko kredit secara agregat atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) berada di angka 3,36 persen per Mei 2023, atau naik jika dibandingkan dengan posisi April 2023 mencapai 2,82 persen. Artinya, tingkat keberhasilan penyelenggara P2P lending (TKB90) secara agregat berada pada 96,64 persen.
Indikator lainnya, rasio return on asset (ROA) dan return on equity (ROE) masing-masing berada di level 5,55 persen dan 11,18 persen. Adapun, beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) terpantau menyusut dari 87,29 persen pada April 2023 menjadi 87,13 persen per Mei 2023.
Di samping itu, nilai outstanding pinjaman fintech P2P lending mampu mencapai Rp51,46 triliun pada lima bulan pertama 2023, atau meningkat 28,11 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dari sebelumnya bernilai Rp40,17 triliun pada Mei 2022.