Bisnis.com, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda meminta perusahaan teknologi finansial alias fintech yang belum memenuhi batas nominal ekuitas OJK segera berbenah. Ada beberapa strategi yang dinilainya bisa jadi opsi.
Salah satunya adalah lewat konsolidasi antar-pemain, seperti yang belakangan dilakukan beberapa bank.
Kemudian, opsi lain yang dinilai Huda bisa dijajaki adalah pendanaan ekuitas dari pihak ketiga.
Selain ekuitas, dia berpendapat pentingnya mempertimbangkan kualitas credit scoring alias skor kredit. Hal ini disebutnya penting karena beberapa tahun terakhir fintech cenderung mengalami kenaikan rasio tingkat kredit bermasalah.
“Kami merasa penggunaan data riwayat keuangan perlu dimasukkan dalam penilaian credit scoring-nya. Itu yang perlu didorong,” ujarnya, Minggu (9/7/2023).
Sebagai informasi, batas permodalan atau ekuitas fintech telah diatur dalam ketentuan Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022. Aturan ini menyebutkan penyelenggara fintech harus memenuhi modal atau ekuitas secara bertahap.
Baca Juga
Tahap pertama dimulai pada 4 Juli 2023 dengan minimal permodalan senilai Rp 2,5 miliar. Setelah itu, pada 4 Juli 2024 fintech harus memiliki modal minimum Rp 7,5 miliar dan berlanjut hingga Rp 12,5 miliar pada 4 Juli 2025 mendatang.
Huda meyakini tujuan OJK dalam memberikan kewajiban pemenuhan ekuitas adalah untuk melindungi pengguna P2P lending. Dengan demikian, apabila ada terjadi gangguan kinerja dari P2P lending, baik pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman bisa mendapatkan kompensasi dari dana yang digunakan.
Tak hanya itu, dengan ekuitas yang kuat, maka membuat pengguna lebih yakin dan merasa aman dalam menggunakan platform tersebut. Layaknya perbankan yang juga harus memiliki kewajiban ekuitas, penggunaan aplikasi diharapkan bisa ikut meningkat sejalan dengan naiknya kepercayaan pengguna.
Senada dengan Huda, Ketua Umum Asosiasi Startup Teknologi Indonesia atau Association of Tech Startup Indonesia (Atsindo) Handito Joewono menyarankan fintech yang belum memenuhi kecukupan modal dan ekuitas mempertimbangkan konsolidasi atau merger.
Modal adalah hal yang menurutnya paling penting.
"Itu memang bisnis mainannya pemain besar," tekannya.
Managing Partner dari Ideosource VC Edward Ismawan Chamdani menjelaskan kewajiban pemenuhan modal memang biasa dilakukan untuk melihat pertumbuhan perusahaan yang sehat dari pemain existing. Selain itu, tentunya juga menaikan standar layanan maupun skalabilitas dari para pemain tekfin untuk meningkatkan layanan dan coverage.
Bagi perusahaan yang masih bergulat dengan persoalan ekuitas awal, dia menyebut salah satu solusinya memang bisa dilakukan dengan fundraising atau menggalang dana ke modal ventura baik lokal maupun asing.
Di luar opsi yang sebelumnya telah disebutkan Huda dan Handito, Edward juga melihat penawaran saham publik atau IPO bisa jadi opsi. Namun, dengan catatan perusahaan tersebut mesti sudah bertumbuh dan cukup besar agar investor publik tertarik.
Apabila skalanya lebih besar, merger dengan bank digital juga disebutnya bisa jadi skenario yang mungkin.